Pages

Subscribe:

Labels

Powered By Blogger

Sabtu, 03 April 2010

Tanda-Tanda Ilmu Yang Bermanfaat


TANDA-TANDA ILMU YANG BERMANFAAT


Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas




Ilmu yang bermanfaat dapat diketahui dengan melihat kepada pemilik ilmu tersebut. Di antara tanda-tandanya adalah:

[1]. Orang yang bermanfaat ilmunya tidak peduli terhadap keadaan dan kedudukan dirinya serta hati mereka membenci pujian dari manusia, tidak menganggap dirinya suci, dan tidak sombong terhadap orang lain dengan ilmu yang dimilikinya.

Imam al-Hasan al-Bashri (wafat th. 110 H) rahimahullaah mengatakan, “Orang yang faqih hanyalah orang yang zuhud terhadap dunia, sangat mengharapkan kehidupan akhirat, mengetahui agamanya, dan rajin dalam beribadah.” Dalam riwayat lain beliau berkata, “Ia tidak iri terhadap orang yang berada di atasnya, tidak sombong terhadap orang yang berada di bawahnya, dan tidak mengambil imbalan dari ilmu yang telah Allah Ta’ala ajarkan kepadanya.” [1]

[2]. Pemilik ilmu yang bermanfaat, apabila ilmunya bertambah, bertambah pula sikap tawadhu’, rasa takut, kehinaan, dan ketundukannya di hadapan Allah Ta’ala.

[3]. Ilmu yang bermanfaat mengajak pemiliknya lari dari dunia. Yang paling besar adalah kedudukan, ketenaran, dan pujian. Menjauhi hal itu dan bersungguh-sungguh dalam menjauhkannya, maka hal itu adalah tanda ilmu yang bermanfaat.

[4]. Pemilik ilmu ini tidak mengaku-ngaku memiliki ilmu dan tidak berbangga dengannya terhadap seorang pun. Ia tidak menisbatkan kebodohan kepada seorang pun, kecuali seseorang yang jelas-jelas menyalahi Sunnah dan Ahlus Sunnah. Ia marah kepadanya karena Allah Ta’ala semata, bukan karena pribadinya, tidak pula bermaksud meninggikan kedudukan dirinya sendiri di atas seorang pun. [2]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (wafat th. 728 H) rahimahullaah membagi ilmu yang bermanfaat ini -yang merupakan tiang dan asas dari hikmah- menjadi tiga bagian. Beliau rahimahullaah berkata, “Ilmu yang terpuji, yang ditunjukkan oleh Al-Kitab dan As-Sunnah adalah ilmu yang diwariskan dari para Nabi, sebagaimana disabdakan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

“Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para Nabi, dan mereka tidak mewariskan dinar dan tidak pula dirham. Mereka hanyalah mewariskan ilmu. Siapa yang mengambilnya, maka ia telah mengambil bagian yang banyak.” [3]

Ilmu Ini Ada Tiga Macam:

[1]. Ilmu tentang Allah, Nama-Nama, dan sifat-sifat-Nya serta hal-hal yang berkaitan dengannya. Contohnya adalah sebagaimana Allah menurunkan surat al-Ikhlaash, ayat Kursi, dan sebagainya.

[2]. Ilmu mengenai berita dari Allah tentang hal-hal yang telah terjadi dan akan terjadi di masa datang serta yang sedang terjadi. Contohnya adalah Allah menurunkan ayat-ayat tentang kisah, janji, ancaman, sifat Surga, sifat Neraka, dan sebagainya.

[3]. Ilmu mengenai perintah Allah yang berkaitan dengan hati dan perbuatan-perbuatan anggota tubuh, seperti beriman kepada Allah, ilmu pengetahuan tentang hati dan kondisinya, serta perkataan dan perbuatan anggota badan. Dan hal ini masuk di dalamnya ilmu tentang dasar-dasar keimanan dan tentang kaidah-kaidah Islam dan masuk di dalamnya ilmu yang membahas tentang perkataan dan perbuatan-perbuatan yang jelas, seperti ilmu-ilmu fiqih yang membahas tentang hukum amal perbuatan. Dan hal itu merupakan bagian dari ilmu agama. [4]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (wafat th. 728 H) rahimahullaah juga berkata, “Telah berkata Yahya bin ‘Ammar (wafat th. 422 H), ‘Ilmu itu ada lima:

(1). Ilmu yang merupakan kehidupan bagi agama, yaitu ilmu tauhid

(2). Ilmu yang merupakan santapan agama, yaitu ilmu tentang mempelajari makna-makna Al-Qur-an dan hadits

(3). Ilmu yang merupakan obat agama, yaitu ilmu fatwa. Apabila suatu musibah (malapetaka) datang kepada seorang hamba, ia membutuhkan orang yang mampu menyembuhkannya dari musibah itu, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu

(4). Ilmu yang merupakan penyakit agama, yaitu ilmu kalam dan bid’ah, dan

(5). Ilmu yang merupakan kebinasaan bagi agama, yaitu ilmu sihir dan yang sepertinya.’” [5]

[Disalin dari buku Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga “Panduan Menuntut Ilmu”, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka

Cara-Cara Jin Mengganggu Manusia Dan Bagaimana Melindungi Diri Darinya


CARA-CARA JIN MENGGANGGU MANUSIA DAN BAGAIMANA MELINDUNGI DIRI DARINYA


Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin




Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah jin dapat memberikan pengaruh kepada manusia, dan bagaimana cara melindungi diri dari mereka?

Jawaban
Tidak diragukan bahwa jin dapat memberikan pengaruh kepada manusia dengan gangguan yang adakalanya bisa mematikan, adakalanya mengganggu dengan lemparan batu, dengan menakut-nakuti manusia, dan hal-hal lainnya yang disahkan oleh sunnah dan ditunjukkan oleh kenyataan. Diriwayatkan secara sah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan seorang sahabatnya untuk pergi kepada keluarganya dalam suatu peperangan –yang saya kira perang Khandaq-, Ia seorang pemuda yang baru saja menikah. Ketika sampai di rumahnya, ternyata istrinya ada di depan pintu. Ia mengingkari perbuatan istrinya itu, lalu berkata kepadanya, “Masuklah!”. Ketika pemuda ini masuk, ternyata seekor ular melingkar di atas tempat tidur. Dengan tombak yang berada di tangannya, ia menikam ular tersebut dengan tombak tersebut hingga mati. Dalam waktu bersamaan –yakni pada saat ular itu mati- maka pria ini juga mati. Perawi tidak tahu, mana yang lebih dulu mati ; ular atau orang itu. Ketika berita itu sampai kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau melarang membunuh ular yang berada di rumah kecuali ular yang ganas dan berbisa. Beliau bersabda.

“Sesungguhnya di Madinah terdapat para jin yang telah masuk Islam. Jika kalian melihat sesuatu dari mereka, maka izinkanlah ia selama tiga hari. Jika ia menampakkan diri kepadamu sesudah itu, maka bunuhlah. Sebab, sesungguhnya ia adalah setan” [HR Muslim, no. 2226, kitab As-Salam]

Ini dalil yang menunjukkan bahwa jin itu adakalanya menzhalimi manusia dan menggangggu mereka, sebagaimana fenomena membuktikan hal itu. Berita-berita telah mutawatir dan sangat banyak menyebutkan bahwa manusia adakalanya memasuki rumah-rumah kosong lalu dilempar dengan batu padahal manusia tidak melihat seseorangpun di dalam rumah kosong itu. Adakalanya ia mendengar suara-suara dan adakalanya mendengar desingan lembut seperti suara pohon serta sejenisnya yang membuat ketakutan dan terganggu karenanya.

Demikian pula adakalanya jin memasuki tubuh manusia, baik dengan kecintaan, untuk bermaksud mengganggunya maupun sebab-sebab lainnya. Ini diisyaratkan oleh firman-Nya.

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti beridinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila” [Al-Baqarah : 275]

Pada jenis ini adakalanya jin berbicara dari batin manusia itu sendiri, berbicara kepada siapa yang membacakan ayat-ayat Al-Qur’an di hadapannya, adakalanya pembaca Al-Qur’an mengabil janjinya supaya tidak kembali lagi, dan perkara-perkara lainnya yang banyak diberitakan oleh riwayat-riwayat dan tersebar di tengah-tengah manusia. Atas dasar ini maka benteng yang dapat menghalangi dari kejahatan jin ialah seseorang membaca apa yang direkomendasikan oleh Sunnah yang dapat membentengi diri dari mereka, semisal ayat Kursi. Sebab, jika seseorang membaca ayat Kursi, pada suatu malam, maka ia senantiasa mendapat penjagaan dari Allah dan setan tidak mendekatinya hingga Shubuh. Dan, Allah adalah Maha Pemelihara.

[Fatawa Al-Ilaj Bi Al-Qur’an wa As-Sunnah ar-Ruqa Wama Yata’allaqu Biha, hal. 65-66]

TIDAK MUNGKIN MANUSIA BIASA BISA MELIHAT JIN


Oleh
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin


Pertanyaan
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin ditanya : Apakah mungkin jin menampakkan diri kepada manusia dalam aslinya?

Jawaban
Itu tidak mungkin untuk manusia biasa. Sebab jin adalah ruh tanpa jasad. Ruh mereka sangat lembut yang dapat terbakar oleh pandangan mata. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka” [Al-A’raf : 27]

Sebagaimana halnya kita tidak melihat para malaikat yang menyertai kita yang mencatat amal, dan kita tidak melihat setan yang mengalir dalam tubuh manusia pada aliran darah. Tetapi jika Allah memberi keistimewaan kepada seseorang dengan keistimewaan kenabian, maka ia dapat melihat malaikat. Sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Jibril, ketika turun kepadanya, sedangkan manusia di sekitarnya tidak melihatnya.

Adapun dukun dan sejenisnya maka jin adakalanya menyamar menjadi salah seorang dari mereka, kemudian sebagian jin memperlihatkannya, dengan mengatakan, “Jin telah datang kepada fulan”. Jadi bukan manusia yang melihatnya, melainkan jin yang menyamar kepadanya itulah yang melihatnya dan mengabarkan siapa yang berada di sekitarnya.

[Fatwa Syaikh Abdullah bin Jibrin yang beliau tanda tangani

Bolehkah Ikut Serta Menyambut Dan Bergembira Dengan Hari Raya Orang-Orang Kafir


HUKUM MENYAMBUT DAN BERGEMBIRA DENGAN HARI RAYA ORANG-ORANG KAFIR


Oleh
Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan




Sesungguhnya di antara konsekwensi terpenting dari sikap membenci orang-orang kafir ialah menjauhi syi'ar dan ibadah mereka. Sedangkan syi'ar mereka yang paling besar adalah hari raya mereka, baik yang berkaitan dengan tempat maupun waktu. Maka orang Islam berkewajiban menjauhi dan meninggalkannya.

Ada seorang lelaki yang datang kepada baginada Rasul Shallallahu alaihi wa sallam untuk meminta fatwa karena ia telah bernadzar memotong hewan di Buwanah (nama sebuah tempat), maka Nabi Shallallahu alaihi wa sallam menanyakan kepadanya.

"Artinya : Apakah disana ada berhala, dari berhala-berhala orang Jahiliyah yang disembah ?" Dia menjawab, "Tidak". Beliau bertanya, "Apakah di sana tempat dilaksanakannya hari raya dari hari raya mereka ?" Dia menjawab, "Tidak". Maka Nabi bersabda, "Tepatillah nadzarmu, karena sesungguhnya tidak boleh melaksanakan nadzar dalam maksiat terhadap Allah dalam hal yang tidak dimiliki oleh anak Adam" [1]

Hadits diatas menunjukkan, tidak bolehnya menyembelih untuk Allah di bertepatan dengan tempat yang digunakan menyembelih untuk selain Allah ; atau di tempat orang-orang kafir merayakan pesta atau hari raya. Sebab hal itu berarti mengikuti mereka dan menolong mereka di dalam mengagungkan syi'ar-syi'ar mereka, dan juga karena menyerupai mereka atau menjadi wasilah yang mengantarkan kepada syirik. Begitu pula ikut merayakan hari raya (hari besar) mereka mengandung wala' (loyalitas) kepada mereka dan mendukung mereka dalam menghidupkan syi'ar-syi'ar mereka.

Di antara yang dilarang adalah menampakkan rasa gembira pada hari raya mereka, meliburkan pekerjaan (sekolah), memasak makanan-makanan sehubungan dengan hari raya mereka. Dan diantaranya lagi ialah mempergunakan kalender Masehi, karena hal itu menghidupkan kenangan terhadap hari raya Natal bagi mereka. Karena itu para shahabat menggunakan kalender Hijriyah sebagai gantinya.

Syaikhul Islam Ibnu Timiyah berkata, "Ikut merayakan hari-hari besar mereka tidak diperbolehkan karena dua alasan".:

Pertama.
Bersifat umum, seperti yang telah dikemukakan di atas bahwa hal tersebut berarti mengikuti ahli Kitab, yang tidak ada dalam ajaran kita dan tidak ada dalam kebiaasaan Salaf. Mengikutinya berarti mengandung kerusakan dan meninggalkannya terdapat maslahat menyelisihi mereka. Bahkan seandainya kesamaan yang kita lakukan merupakan sesuatu ketetapan semata, bukan karena mengambilnya dari mereka, tentu yang disyari'atkan adalah menyelisihiya karena dengan menyelisihinya terdapat maslahat seperti yang telah diisyaratkan di atas. Maka barangsiapa mengikuti mereka, dia telah kehilangan maslahat ini sekali pun tidak melakukan mafsadah (kerusakan) apapun, terlebih lagi kalau dia melakukannya.

Alasan Kedua.
Karena hal itu adalah bid'ah yang diada adakan. Alasan ini jelas menunjukkan bahwa sangat dibenci hukumnya menyerupai mereka dalam hal itu".

Beliau juga mengatakan, "Tidak halal bagi kaum muslimin bertasyabuh (menyerupai) mereka dalam hal-hal yang khusus bagi hari raya mereka ; seperti, makanan, pakaian, mandi, menyalakan lilin, meliburkan kebiasaan seperti bekerja dan beribadah ataupun yang lainnya. Tidak halal mengadakan kenduri atau memberi hadiah atau menjual barang-barang yang diperlukan untuk hari raya tersebut. Tidak halal mengizinkan anak-anak ataupun yang lainnya melakukan permainan pada hari itu, juga tidak boleh menampakkan perhiasan.

Ringkasnya, tidak boleh melakukan sesuatu yang menjadi ciri khas dari syi'ar mereka pada hari itu.

Hari raya mereka bagi umat Islam haruslah seperti hari-hari biasanya, tidak ada hal istimewa atau khusus yang dilakukan umat Islam. Adapun jika dilakukan hal-hal tersebut oleh umat Islam dengan sengaja [2] maka berbagai golongan dari kaum salaf dan khalaf menganggapnya makruh. Sedangkan pengkhususan seperti yang tersebut di atas maka tidak ada perbedaan di antara ulama, bahkan sebagian ulama menganggap kafir orang yang melakukan hal tersebut, karena dia telah mengagungkan syi'ar-syi'ar kekufuran.

Segolongan ulama mengatakan. "Siapa yang menyembelih kambing pada hari raya mereka (demi merayakannya), maka seolah-olah dia menyembelih babi". Abdullah bin Amr bin Ash berkata, "Siapa yang mengikuti negera-negara 'ajam (non Islam)dan melakukan perayaan Nairuz [3] dan Mihrajan [4] serta menyerupai mereka sampai ia meninggal dunia dan dia belum bertobat, maka dia akan dikumpulkan bersama mereka pada Hari Kiamat [5]

Mewaspadai Bahaya Korupsi


MEWASPADAI BAHAYA KORUPSI

Oleh
Ustadz Abu Humaid Arif Syarifuddin



Menengok keadaan saat ini, betapa banyak orang yang melakukan perbuatan yang amat tercela ini. Bahkan hampir kita dapati dalam semua lapisan masyarakat, dari masyarakat yang paling bawah, menengah sampai kalangan atas. Khalayak pun kemudian menggolongkan para pelaku korupsi ini menjadi berkelas-kelas. Mulai koruptor kelas teri sampai kelas kakap. Dalam lingkup masyarakat bawah, mungkin pernah atau bahkan banyak kita jumpai, seseorang yang mendapat amanah untuk membelanjakan sesuatu, kemudian setelah dibelanjakan, uang yang diberikan pemiliknya masih tersisa, tetapi dia tidak memberitahukan adanya sisa uang tersebut, meskipun hanya seratus rupiah, melainkan masuk ke ‘saku’nya, atau dengan cara memanipulasi nota belanja. Adapun koruptor kelas kakap, maka tidak tanggung-tanggung yang dia ‘embat’ sampai milyaran bahkan triliyunan. Sejauh mana bahaya perbuatan ini? Kami mencoba mengulasnya dengan mengambil salah satu hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berikut ini. Semoga bermanfaat, dan kita dapat menghindari ataupun mewaspadai bahayanya. (Redaksi).

Dari ‘Adiy bin ‘Amirah Al Kindi Radhiyallahu 'anhu berkata : Aku pernah mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

((مَنْ اسْتَعْمَلْنَاهُ مِنْكُمْ عَلَى عَمَلٍ فَكَتَمَنَا مِخْيَطًا فَمَا فَوْقَهُ كَانَ غُلُولًا يَأْتِي بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ))، قَالَ: فَقَامَ إِلَيْهِ رَجُلٌ أَسْوَدُ مِنْ الْأَنْصَارِ كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَيْهِ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ اقْبَلْ عَنِّي عَمَلَكَ، قَالَ: ((وَمَا لَكَ؟))، قَالَ: سَمِعْتُكَ تَقُولُ كَذَا وَكَذَا، قَالَ: ((وَأَنَا أَقُولُهُ الْآنَ، مَنْ اسْتَعْمَلْنَاهُ مِنْكُمْ عَلَى عَمَلٍ فَلْيَجِئْ بِقَلِيلِهِ وَكَثِيرِهِ فَمَا أُوتِيَ مِنْهُ أَخَذَ وَمَا نُهِيَ عَنْهُ انْتَهَى)).

“Barangsiapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), lalu dia menyembunyikan dari kami sebatang jarum atau lebih dari itu, maka itu adalah ghulul (belenggu, harta korupsi) yang akan dia bawa pada hari kiamat”.
(‘Adiy) berkata : Maka ada seorang lelaki hitam dari Anshar berdiri menghadap Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam , seolah-olah aku melihatnya, lalu dia berkata,"Wahai Rasulullah, copotlah jabatanku yang engkau tugaskan."
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya,"Ada apa gerangan?”
Dia menjawab,"Aku mendengar engkau berkata demikian dan demikian (maksudnya perkataan di atas, Pen.)."
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam pun berkata,"Aku katakan sekarang, (bahwa) barangsiapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), maka hendaklah dia membawa (seluruh hasilnya), sedikit maupun banyak. Kemudian, apa yang diberikan kepadanya, maka dia (boleh) mengambilnya. Sedangkan apa yang dilarang, maka tidak boleh.”

TAKHRIJ HADITS
- Hadits ini dikeluarkan oleh Muslim dalam Shahih-nya dalam kitab al Imarah, bab Tahrim Hadaya al ‘Ummal, hadits no. 3415.
- Abu Dawud dalam Sunan-nya dalam kitab al Aqdhiyah, bab Fi Hadaya al ‘Ummal, hadits no. 3110.
- Imam Ahmad dalam Musnad-nya, 17264 dan 17270, dari jalur Isma’il bin Abu Khalid, dari Qais bin Abu Hazim, dari Sahabat ‘Adiy bin ‘Amirah al Kindi Radhiyallahu 'anhu di atas. Adapun lafadz hadits di atas dibawakan oleh Muslim.

BIOGRAFI SINGKAT ‘ADIY BIN ‘AMIRAH RADHIYALLAHU 'ANHU
Beliau merupakan sahabat mulia, dengan nama lengkapnya ‘Adiy bin ‘Amirah bin Farwah bin Zurarah bin al Arqam, Abu Zurarah al Kindi. Beliau hanya sedikit meriwayatkan hadits Rasululllah Shallallahu 'alaihi wa sallam, di antaranya adalah hadits ini.
Beliau wafat pada masa kekhalifahan Mu’awiyah Radhiyallahu 'anhu. Ada pula yang berpendapat selain itu [1]. Wallahu a’lam bish shawab.

MUFRADAT (KOSA KATA)
Kata ghululan (غُلُولاً) dalam lafadz Muslim, atau ghullun (غُلٌّ) dalam lafadz Abu Dawud, keduanya dengan huruf ghain berharakat dhammah. Ini mengandung beberapa pengertian, di antaranya bermakna belenggu besi, atau berasal dari kata kerja ghalla (غَلَّ) yang berarti khianat [2]. Ibnul Atsir menerangkan, kata al ghulul (الْغُلُولُ), pada asalnya bermakna khianat dalam urusan harta rampasan perang, atau mencuri sesuatu dari harta rampasan perang sebelum dibagikan [3]. Kemudian, kata ini digunakan untuk setiap perbuatan khianat dalam suatu urusan secara sembunyi-sembunyi.[4]

Jadi, kata ghulul (الْغُلُولُ) di atas, secara umum digunakan untuk setiap pengambilan harta oleh seseorang secara khianat, atau tidak dibenarkan dalam tugas yang diamanahkan kepadanya (tanpa seizin pemimpinnya atau orang yang menugaskannya). Dalam bahasa kita sekarang, perbuatan ini disebut korupsi, seperti tersebut dalam hadits yang sedang kita bahas ini.

MAKNA HADITS
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyampaikan peringatan atau ancaman kepada orang yang ditugaskan untuk menangani suatu pekerjaan (urusan), lalu ia mengambil sesuatu dari hasil pekerjaannya tersebut secara diam-diam tanpa seizin pimpinan atau orang yang menugaskannya, di luar hak yang telah ditetapkan untuknya, meskipun hanya sebatang jarum. Maka, apa yang dia ambil dengan cara tidak benar tersebut akan menjadi belenggu, yang akan dia pikul pada hari Kiamat. Yang dia lakukan ini merupakan khianat (korupsi) terhadap amanah yang diembannya. Dia akan dimintai pertanggungjawabnya nanti pada hari Kiamat.

Ketika kata-kata ancaman tersebut didengar oleh salah seorang dari kaum Anshar, yang orang ini merupakan satu di antara para petugas yang ditunjuk oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, serta merta dia merasa takut. Dia meminta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk melepaskan jabatannya. Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan, agar setiap orang yang diberi tugas dengan suatu pekerjaan, hendaknya membawa hasil dari pekerjaannya secara keseluruhan, sedikit maupun banyak kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kemudian mengenai pembagiannya, akan dilakukan sendiri oleh beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Apa yang diberikan, berarti boleh mereka ambil. Sedangkan yang ditahan oleh beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka mereka tidak boleh mengambilnya.

SYARAH HADITS
Hadits di atas intinya berisi larangan berbuat ghulul (korupsi), yaitu mengambil harta di luar hak yang telah ditetapkan, tanpa seizin pimpinan atau orang yang menugaskannya. Seperti ditegaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Buraidah Radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

((مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقاً فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ)).

"Barangsiapa yang kami tugaskan dengan suatu pekerjaan, lalu kami tetapkan imbalan (gaji) untuknya, maka apa yang dia ambil di luar itu adalah harta ghulul (korupsi)".[5]

Asy Syaukani menjelaskan, dalam hadits ini terdapat dalil tidak halalnya (haram) bagi pekerja (petugas) mengambil tambahan di luar imbalan (upah) yang telah ditetapkan oleh orang yang menugaskannya, dan apa yang diambilnya di luar itu adalah ghulul (korupsi).[6]

Dalam hadits tersebut maupun di atas, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyampaikan secara global bentuk pekerjaan atau tugas yang dimaksud. Ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa peluang melakukan korupsi (ghulul) itu ada dalam setiap pekerjaan dan tugas, terutama pekerjaan dan tugas yang menghasilkan harta atau yang berurusan dengannya. Misalnya, tugas mengumpulkan zakat harta, yang bisa jadi bila petugas tersebut tidak jujur, dia dapat menyembunyikan sebagian yang telah dikumpulkan dari harta zakat tersebut, dan tidak menyerahkan kepada pimpinan yang menugaskannya.

HUKUM SYARI’AT TENTANG KORUPSI
Sangat jelas, perbuatan korupsi dilarang oleh syari’at, baik dalam Kitabullah (al Qur`an) maupun hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang shahih.

Di dalam Kitabullah, di antaranya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

"Tidak mungkin seorang nabi berkhianat (dalam urusan harta rampasan perang). Barangsiapa yang berkhianat (dalam urusan rampasan perang itu), maka pada hari Kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu …" [Ali Imran: 161].

Dalam ayat tersebut Allah Subhanahu wa Ta'ala mengeluarkan pernyataan bahwa, semua nabi Allah terbebas dari sifat khianat, di antaranya dalam urusan rampasan perang.

Menurut penjelasan Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma, ayat ini diturunkan pada saat (setelah) perang Badar, orang-orang kehilangan sepotong kain tebal hasil rampasan perang. Lalu sebagian mereka, yakni kaum munafik mengatakan, bahwa mungkin Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengambilnya. Maka Allah Subhanahu wa Ta'ala menurunkan ayat ini untuk menunjukkan jika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam terbebas dari tuduhan tersebut.

Ibnu Katsir menambahkan, pernyataan dalam ayat tersebut merupakan pensucian diri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dari segala bentuk khianat dalam penunaian amanah, pembagian rampasan perang, maupun dalam urusan lainnya [7]. Hal itu, karena berkhianat dalam urusan apapun merupakan perbuatan dosa besar. Semua nabi Allah ma’shum (terjaga) dari perbuatan seperti itu.

Mengenai besarnya dosa perbuatan ini, dapat kita pahami dari ancaman yang terdapat dalam ayat di atas, yaitu ketika Allah mengatakan : “Barangsiapa yang berkhianat (dalam urusan rampasan perang itu), maka pada hari Kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu …”

Ibnu Katsir mengatakan,"Di dalamnya terdapat ancaman yang amat keras.” [8]

Selain itu, perbuatan korupsi (ghulul) ini termasuk dalam kategori memakan harta manusia dengan cara batil yang diharamkan Allah Subhanahu wa Ta'ala, sebagaimana dalam firmanNya :

وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقاً مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْأِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

"Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil, dan janganlah kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui" [al Baqarah/2:188]

Juga firmanNya :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil…" [an Nisaa`/4 : 29].

Adapun larangan berbuat ghulul (korupsi) yang datang dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka hadits-hadits yang menunjukkan larangan ini sangat banyak, di antaranya hadits dari ‘Adiy bin ‘Amirah Radhiyallahu 'anhu dan hadits Buraidah Radhiyallahu 'anhu di atas.

PINTU-PINTU KORUPSI
Peluang melakukan korupsi ada di setiap tempat, pekerjaan ataupun tugas, terutama yang diistilahkan dengan tempat-tempat “basah”. Untuk itu, setiap muslim harus selalu berhati-hati, manakala mendapatkan tugas-tugas. Dengan mengetahui pintu-pintu ini, semoga kita selalu waspada dan tidak tergoda, sehingga nantinya mampu menjaga amanah yang menjadi tanggung jawab kita.

Berikut adalah di antara pintu-pintu korupsi.

1. Saat pengumpulan harta rampasan perang, sebelum harta tersebut dibagikan.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menceritakan :

((غَزَا نَبِيٌّ مِنْ الْأَنْبِيَاءِ فَقَالَ لِقَوْمِهِ لَا يَتْبَعْنِي رَجُلٌ مَلَكَ بُضْعَ امْرَأَةٍ وَهُوَ يُرِيدُ أَنْ يَبْنِيَ بِهَا وَلَمَّا يَبْنِ بِهَا وَلَا أَحَدٌ بَنَى بُيُوتًا وَلَمْ يَرْفَعْ سُقُوفَهَا وَلَا أَحَدٌ اشْتَرَى غَنَمًا أَوْ خَلِفَاتٍ وَهُوَ يَنْتَظِرُ وِلَادَهَا فَغَزَا فَدَنَا مِنْ الْقَرْيَةِ صَلَاةَ الْعَصْرِ أَوْ قَرِيبًا مِنْ ذَلِكَ فَقَالَ لِلشَّمْسِ إِنَّكِ مَأْمُورَةٌ وَأَنَا مَأْمُورٌ اللَّهُمَّ احْبِسْهَا عَلَيْنَا فَحُبِسَتْ حَتَّى فَتَحَ اللَّهُ عَلَيْهِ فَجَمَعَ الْغَنَائِمَ فَجَاءَتْ يَعْنِي النَّارَ لِتَأْكُلَهَا فَلَمْ تَطْعَمْهَا فَقَالَ إِنَّ فِيكُمْ غُلُولًا فَلْيُبَايِعْنِي مِنْ كُلِّ قَبِيلَةٍ رَجُلٌ فَلَزِقَتْ يَدُ رَجُلٍ بِيَدِهِ فَقَالَ فِيكُمْ الْغُلُولُ فَلْيُبَايِعْنِي قَبِيلَتُكَ فَلَزِقَتْ يَدُ رَجُلَيْنِ أَوْ ثَلَاثَةٍ بِيَدِهِ فَقَالَ فِيكُمْ الْغُلُولُ فَجَاءُوا بِرَأْسٍ مِثْلِ رَأْسِ بَقَرَةٍ مِنْ الذَّهَبِ فَوَضَعُوهَا فَجَاءَتْ النَّارُ فَأَكَلَتْهَا، ثُمَّ أَحَلَّ اللَّهُ لَنَا الْغَنَائِمَ رَأَى ضَعْفَنَا وَعَجْزَنَا فَأَحَلَّهَا لَنَا))

"Ada seorang nabi berperang, lalu ia berkata kepada kaumnya : "Tidak boleh mengikutiku (berperang) seorang yang telah menikahi wanita, sementara ia ingin menggaulinya, dan ia belum melakukannya; tidak pula seseorang yang yang telah membangun rumah, sementara ia belum memasang atapnya; tidak pula seseorang yang telah membeli kambing atau unta betina yang sedang bunting, sementara ia menunggu (mengharapkan) peranakannya".

Lalu nabi itu pun berperang dan ketika sudah dekat negeri (yang akan diperangi) tiba atau hampir tiba shalat Ashar, ia berkata kepada matahari : "Sesungguhnya kamu diperintah, dan aku pun diperintah. Ya Allah, tahanlah matahari ini untuk kami," maka tertahanlah matahari itu hingga Allah membukakan kemenangan baginya. Lalu ia mengumpulkan harta rampasan perang. Kemudian datang api untuk melahapnya, tetapi api tersebut tidak dapat melahapnya. Dia (nabi itu) pun berseru (kepada kaumnya): "Sesungguhnya di antara kalian ada (yang berbuat) ghulul (mengambil harta rampasan perang secara diam-diam). Maka, hendaklah ada satu orang dari setiap kabilah bersumpah (berbai’at) kepadaku," kemudian ada tangan seseorang menempel ke tangannya (berbai’at kepada nabi itu), lalu ia (nabi itu) berkata,"Di antara kalian ada (yang berbuat) ghulul, maka hendaknya kabilahmu bersumpah (berbai’at) kepadaku," kemudian ada tangan dari dua atau tiga orang menempel ke tangannya (berbai’at kepada nabi itu), lalu ia (nabi itu) berkata,"Di antara kalian ada (yang berbuat) ghulul," maka mereka datang membawa emas sebesar kepala sapi, kemudian mereka meletakkannya, lalu datanglah api dan melahapnya. Kemudian Allah menghalalkan harta rampasan perang bagi kita (karena) Allah melihat kelemahan kita.[9]

2. Ketika pengumpulan zakat maal (harta).
Seseorang yang diberi tugas mengumpulkan zakat maal oleh seorang pemimpin negeri, jika tidak jujur, sangat mungkin ia mengambil sesuatu dari hasil (zakat maal) yang telah dikumpulkannya, dan tidak menyerahkannya kepada pemimpin yang menugaskannya. Atau dia mengaku yang dia ambil adalah sesuatu yang dihadiahkan kepadanya. Peristiwa semacam ini pernah terjadi pada masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan beliau memperingatkan dengan keras kepada petugas yang mendapat amanah mengumpulkan zakat maal tersebut dengan mengatakan :

((أَفَلَا قَعَدْتَ فِي بَيْتِ أَبِيكَ وَأُمِّكَ فَنَظَرْتَ أَيُهْدَى لَكَ أَمْ لَا))

"Tidakkah kamu duduk saja di rumah bapak-ibumu, lalu lihatlah, apakah kamu akan diberi hadiah (oleh orang lain) atau tidak?"

Kemudian pada malam harinya selepas shalat Isya’ Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berceramah (untuk memperingatkan perbuatan ghulul kepada khalayak). Di antara isi penjelasan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan :

((فَوَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَا يَغُلُّ أَحَدُكُمْ مِنْهَا شَيْئًا إِلَّا جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى عُنُقِهِ إِنْ كَانَ بَعِيرًا جَاءَ بِهِ لَهُ رُغَاءٌ وَإِنْ كَانَتْ بَقَرَةً جَاءَ بِهَا لَهَا خُوَارٌ وَإِنْ كَانَتْ شَاةً جَاءَ بِهَا تَيْعَرُ))

"(Maka) Demi (Allah), yang jiwa Muhammad berada di tanganNya. Tidaklah seseorang dari kalian mengambil (mengkorupsi) sesuatu daripadanya (harta zakat), melainkan dia akan datang pada hari Kiamat membawanya di lehernya. Jika (yang dia ambil) seekor unta, maka (unta itu) bersuara. Jika (yang dia ambil) seekor sapi, maka (sapi itu pun) bersuara. Atau jika (yang dia ambil) seekor kambing, maka (kambing itu pun) bersuara …" [10]

3. Hadiah untuk petugas, dengan tanpa sepengetahuan dan izin pemimpin atau yang menugaskannya.
Dalam hal ini, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda :

((هَدَايَا الْعُمَّالِ غُلُولٌ))

"Hadiah untuk para petugas adalah ghulul". [11]

4. Setiap tugas apapun, terutama yang berurusan dengan harta, seperti seorang yang mendapat amanah memegang perbendaharaan negara, penjaga baitul maal atau yang lainnya, terdapat peluang bagi seseorang yang berniat buruk untuk melakukan ghulul (korupsi), padahal dia sudah memperoleh upah yang telah ditetapkan untuknya. Telah disebutkan dalam hadits yang telah lalu, yaitu sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang artinya : Barangsiapa yang kami tugaskan dengan suatu pekerjaan, lalu kami tetapkan imbalan (gaji) untuknya, maka apa yang dia ambil di luar itu adalah harta ghulul (korupsi).[12]

BAHAYA BUATAN GHULUL (KORUPSI)
Tidaklah Allah melarang sesuatu, melainkan di balik itu terkandung keburukan dan mudharat (bahaya) bagi pelakunya. Begitu pula dengan perbuatan korupsi (ghulul), tidak luput dari keburukan dan mudharat tersebut. Diantaranya :

1. Pelaku ghulul (korupsi) akan dibelenggu, atau ia akan membawa hasil korupsinya pada hari Kiamat, sebagaimana ditunjukkan dalam ayat ke-161 surat Ali Imran dan hadits ‘Adiy bin ‘Amirah Radhiyallahu 'anhu di atas. Dan dalam hadits Abu Humaid as Sa’idi Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

((... وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يَأْخُذُ أَحَدٌ مِنْهُ شَيْئًا إِلَّا جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى رَقَبَتِهِ إِنْ كَانَ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةً تَيْعَرُ ...))

"Demi (Allah), yang jiwaku berada di tanganNya. Tidaklah seseorang mengambil sesuatu daripadanya (harta zakat), melainkan dia akan datang pada hari Kiamat membawanya di lehernya. Jjika (yang dia ambil) seekor unta, maka (unta itu) bersuara. Jika (yang dia ambil) seekor sapi, maka (sapi itu pun) bersuara. Atau jika (yang dia ambil) seekor kambing, maka (kambing itu pun) bersuara …” [13]

2. Perbuatan korupsi menjadi penyebab kehinaan dan siksa api neraka pada hari Kiamat.
Dalam hadits Ubadah bin ash Shamit Radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

((... فَإِنَّ الْغُلُولَ عَارٌ عَلَى أَهْلِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشَنَارٌ وَنَارٌ))

"…(karena) sesungguhnya ghulul (korupsi) itu adalah kehinaan, aib dan api neraka bagi pelakunya". [14]

3. Orang yang mati dalam keadaan membawa harta ghulul (korupsi), ia tidak mendapat jaminan atau terhalang masuk surga. Hal itu dapat dipahami dari sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

((مَنْ فَارَقَ الرُّوحُ الْجَسَدَ وَهُوَ بَرِيءٌ مِنْ ثَلَاثٍ دَخَلَ الْجَنَّةَ مِنْ الْكِبْرِ وَالْغُلُولِ وَالدَّيْنِ))

"Barangsiapa berpisah ruh dari jasadnya (mati) dalam keadaan terbebas dari tiga perkara, maka ia (dijamin) masuk surga. Yaitu kesombongan, ghulul (korupsi) dan hutang". [15]

4. Allah tidak menerima shadaqah seseorang dari harta ghulul (korupsi), sebagaimana dalam sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

((لَا تُقْبَلُ صَلَاةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلَا صَدَقَةٌ مِنْ غُلُولٍ))

"Shalat tidak akan diterima tanpa bersuci, dan shadaqah tidak diterima dari harta ghulul (korupsi)".[16]

5. Harta hasil korupsi adalah haram, sehingga ia menjadi salah satu penyebab yang dapat menghalangi terkabulnya do’a, sebagaimana dipahami dari sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

((أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنْ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ وَقَالَ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ))

"Wahai manusia, sesungguhnya Allah itu baik, tidak menerima kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah memerintahkan orang-orang yang beriman dengan apa yang Allah perintahkan kepada para rasul. Allah berfirman,"Wahai para rasul, makanlah dari yang baik-baik dan kerjakanlah amal shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan". Dia (Allah) juga berfirman: "Wahai orang-orang yang beriman, makanlah yang baik-baik dari yang Kami rizkikan kepada kamu," kemudian beliau (Rasulullah) Shallallahu 'alaihi wa sallam menceritakan seseorang yang lama bersafar, berpakaian kusut dan berdebu. Dia menengadahkan tangannya ke langit (seraya berdo’a): "Ya Rabb…, ya Rabb…," tetapi makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan dirinya dipenuhi dengan sesuatu yang haram. Maka, bagaimana do’anya akan dikabulkan?". [17]

Demikian yang bisa tuliskan untuk para pembaca seputar masalah korupsi. Mudah-mudahan Allah menyelamatkan kita dari segala keburukan yang lahir maupun tersembunyi. Dan semoga uraian singkat ini bermanfaat.

Terorisme Sebab-Sebab Dan Penanggulangannya Serta Sikap Seorang Muslim Dalam Menghadapi Fitnah Zaman


TERORISME, SEBAB-SEBAB DAN PENANGGULANGANNYA SERTA SIKAP SEORANG MUSLIM DALAM MENGHADAPI FITNAH ZAMAN


Oleh
Syaikh DR Sholeh bin Sa’ad As-Suhaimi Al-Harbi


Segala puji hanya milik Allah Yang Maha Esa, semoga shalawat dan salam senantiasa dicurahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tiada lagi Nabi sesudahnya.

Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta’ala telah memuliakan kita dengan kemuliaan yang terbesar yaitu dengan mengutus NabiNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dengannya Dia mengeluarkan kita dari beragam kegelapan kepada Cahaya (Islam), menjadikan kita mulia setelah kehinaan dan menyatukan kita setelah perpecahan serta menjadikan kita bersaudara karena iman kepadaNya yang saling cinta dan menyatu. Seseorang tidak memiliki keutamaan atas yang lainnya kecuali dengan ketaqwaan, Allah Ta’ala berfirman :

“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa”. [Al-Hujurat : 13]

Demikian pula Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman sembari menganugrahkan kepada kita ni’mat ini dan mengingatkan kita pada kondisi kita sebelum kedatangan Islam

”Dan berpegang teguhlah kamu kepada tali(agama) Allah semuanya dan janganlah kalian bercerai berai”.[Ali-'Imran : 103]

Kaum muslimin hidup dalam ni’mat yang besar ini pada zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mereka sangat bergembira, hingga munculnya “cikal bakal” perselisihan tatkala Abdullah bin Saba (seorang yahudi asal Yaman yang berpura-pura masuk Islam,-pent.) dan para pengikutnya mengumpulkan manusia untuk memberontak kepada Khalifah Utsman bin Affan. Dan sebelumnya telah muncul pula benih “Khawarij” yang diawali dengan penentangan Dzul Khuwaisirah at-Tamimi terhadap pembagian harta rampasan yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seusai perang Hunain yang mana dia berkata : “Berlaku adillah wahai Muhammad karena sesungguhnya engkau tidak berlaku adil!”, dia juga mengatakan : ”Pembagian itu tidak diinginkan untuk Wajah Allah”, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya :

ويحك ومن يعدل أن لم أعدل ألأ تأمنو نبى وأنا أمين فى السماء؟

”Celaka engkau ! , siapa lagi yang berlaku adil jika aku tidak berbuat adil?” tidakkah kalian percaya kepadaku padahal aku dipercayakan oleh Dzat yang di atas (yaitu Allah, -pent.)?.

Tatkala ‘Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu ingin membunuhnya, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata :

”Biarkan dia! Karena sesungguhnya akan keluar dari keturunannya suatu kaum yang mana kalian merasa kecil/hina shalat kalian jika dibanding dengan shalat mereka,puasa kalian dengan puasa mereka, mereka membaca al Qur’an namun tidak melampaui kerongkongan mereka, mereka membelot dari Agama sebagaimana keluarnya anak panah dari busurnya”.

Kemudian dikobarkanlah fitnah itu terhadap Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘anhu sebagaimana yang telah saya isyaratkan di atas yang disebabkan oleh karena tahazzub (terjadinya kelompok-kelompok) dan penentangan yang bermaksud untuk menimbulkan fitnah, perpecahan dan memukul Islam pada sasarannya. Dan api fitnah itu semakin berkobar setelah terbunuhnya Dzun-Nurain al Khalifatur Rasyid Utsman bin Affan.

Lalu urusan ini semakin besar dan meluas, timbul berbagai fitnah dan kelompok-kelompok pun bermunculan, induknya adalah kelompok khawarij yang telah membunuh Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu, menghalalkan darah-darah dan harta benda kaum muslimin, menakut nakuti di jalanan mereka dan memerangi Allah dan RasulNya. Maka Ali-pun menumpas fitnah mereka dan beliau menjumpai mayat “Dzul Khuwaishirah” ada di antara mayat-mayat yang bergelimpangan itu.

Kemudian mereka menyusun taktik untuk membunuh sejumlah shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mereka berhasil membunuh Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu . Fitnah mereka masih saja berkelanjutan sampai hari ini, sesekali tampak dan sesekali padam, hingga akan keluar orang yang terakhir dari golongan mereka bersama dajjal, sebagaimana dikabarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Di zaman ini, Allah Ta’ala telah menganugerahkan kepada negeri kita (Saudi Arabia) “seekor elang” jazirah Arab yaitu Raja Abdul Aziz (semoga Allah menghiasi kuburnya dengan kebaikan), maka Allah pun mengumpulkan dengan perantaraannya umat ini yang telah berabad-abad terpecah-belah, dikuasai oleh peperangan, kebencian dan hal-hal yang mencerai beraikan mereka. Demikian pula mereka telah diliputi kejahilan, dikuasai fanatisme kesukuan dan banyak orang yang telah kembali kepada kesyirikan serta pelaksanaan hukum rimba yang mana seorang yang kuat memangsa yang lemah. Lalu Allah mentakdirkan (kelahiran) panglima yang sulit dijumpai tandingannya dan menyatukan ummat (di negeri ini) di bawah bendera tauhid. Maka tersebarlah keamanan dan kemakmuran, berkembanglah ilmu agama dan tersingkaplah gelapnya kejahilan serta tersebarlah persaudaraan Islam yang dibangun di atas tauhid kepada Allah dan berjalan di atas petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam

Selanjutnya Raja Abdul Aziz menancapkan tiang-tiang penyangga bagi negeri yang baru lahir ini, kemudian dilanjutkan oleh putra-putranya yang datang sesudahnya, mengikuti langkah-langkah ayah mereka, dengan memohon pertolongan Allah Ta’ala mereka menjalankan hukum Allah dalam setiap masalah yang besar dan yang kecil. Maka merebaklah keamanan, kebaikan dan kemakmuran di bawah naungan Syari’at Islam, dan jadilah penduduk negeri ini ibarat seorang yang memiliki hati yang satu, baik pemimpin maupun rakyat yang dipimpin. Para pemuda memiliki hubungan yang kokoh dengan para ulama dan pemimpin mereka. Mereka ibarat satu jama’ah dan tidak berkelompok-kelompok, satu manhaj (jalan) dan terbagi-bagi menjadi beberapa manhaj, mereka berada dalam kondisi persatuan yang kuat yang jauh dari sikap guluw (berlebih-lebihan) dan sikap tafrith (menggampangkan/ meremehkan). Apa yang kami ungkapkan di atas sangat tampak dengan jelas pada kurikulum-kurikulum pelajaran yang menanamkan prinsip yang wasath (menengah) ini yang diajak oleh al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sebagaimana yang difirmankan Allah ;

”Dan demikianlah Kami jadikan kamu sebagai umat yang wasath” [Al Baqarah : 143]

Artinya wasath yang adil dan terpilih di antara umat-umat. Sehingga negeri ini menjadi contoh dalam menempuh jalan yang menengah ini, antara yang melampaui batas dan yang cenderung melecehkan.

Pada akhir-akhir ini telah bermunculan berbagai suara, tulisan, seminar dari sebagian “manusia-manusia kerdil” yang mengajak orang-orang yang berpikiran pendek kepada pembentukan partai-partai, kelompok-kelompok kecil dan merapuhkan tonggak-tonggak kekuatan umat dengan mengajak kepada pemisahan diri dari jama’ah yang haq dan bergabung dalam jama'ah-jama'ah hizbiyyah yang sempit yang mengajak kepada sikap ekstrimisme dan melampaui batas dengan berbagai cara yang jitu dan penipuan sehingga mengakibatkan keretakan dalam barisan umat ini.

Para penjaja pemikiran ini telah menempuh berbagai cara dalam memberikan kepuasan kepada para pemuda kita terhadap pemikiran khawarij tersebut yang dengannya telah memberikan peluang kepada musuh-musuh Islam untuk memancing di air yang keruh dengan slogan-slogan hak asasi manusia dan mengajak kepada perubahan kurikulum pendidikan dengan dakwaan bahwasanya kurikulum-kurikukum itulah yang menjadi sebab timbulnya ekstrimisme dan sikap melampaui batas dari beberapa kelompok dan individu.

Dalam menjajakan pemikiran ini para penjajanya telah mengupayakan beragam cara, sebagai berikut :

1. Menggampangkan urusan dakwah kepada tauhid dengan dakwaan bahwasanya masalah Aqidah adalah masalah yang telah dimaklumi oleh semua orang dan dapat dipahami dalam waktu sepuluh menit sebagaimana yang diucapkan oleh sebagian orang di antara mereka, bahkan mereka mundur dari menjadikan aqidah yang benar sebagai asas dengan alasan bahwa hal itu akan memecah belah umat.

2. Mengumpat para ulama umat dan menggalakkan agar tidak banyak mengambil ilmu mereka serta mencemarkan nama baik mereka dengan dakwaan bahwa mereka tidak memahami realita umat dan mereka bukanlah orang-orang yang ahli dalam menyelesaikan problematika umat serta kebangkitannya.

3. Upaya menjauhkan mayoritas generasi muda dari ilmu-ilmu agama yang bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyibukkan mereka dengan nasyid-nasyid yang menimbulkan semangat dan disebarkan dimana-mana melalui media informasi yang bisa dibaca,dilihat dan didengar.

4. Mengurangi kredibilitas para penguasa dan menampakkan berbagai cacat mereka atau hal-hal yang dianggap cacat oleh mereka dari mimbar-mimbar atau melalui satelit serta menta’wilkan ayat-ayat Al Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah yang memerintahkan untuk taat kepada penguasa bahwa yang dimaksud oleh nash-nash itu adalah imam agung/khalifah kaum muslimin. Mereka lupa atau pura-pura lupa apa yang telah disepakati/ijma’ ulama muslimin bahwasanya dalam kondisi negeri muslim terpisah-pisah menjadi beberapa bagian maka setiap negeri melaksanakan hak dan kewajibannya masing-masing terhadap pemimpinnya. Dengan demikian diwajibkan untuk taat kepadanya dalam hal yang ma’ruf dan diharamkan memberontak kepadanya selama dia menjalankan hukum Allah terhadap rakyatnya, ini merupakan masalah yang telah disepakati oleh seluruh ulama muslimin.

5. Menarik/mendatangkan para analisis yang mengajak manusia kepada pemikiran khawarij dengan mengumpulkan para kawula muda untuk dicuci otak-otak mereka pada pertemuan-pertemuan tertutup yang diadakan pada acara-acara kemping atau rekreasi. Mereka fokuskan pembicaraan mereka pada upaya memisahkan generasi muda dari ulama dan penguasa mereka dan mengikat mereka dengan orang-orang tertentu yang menjadikan gerakan melawan penguasa dan pentakfiran sebagai manhaj/jalan hidup mereka.

6. Mengajak kepada jihad yang mereka artikan dengan pemahaman mereka sendiri yaitu menghalalkan darah-darah dan harta benda kaum muslimin serta menganjurkan untuk melakukan tindakan-tindakan anarkis, pemboman, penghancuran jembatan-jembatan dan pengrusakan harta benda dengan dakwaan bahwasanya negeri-negeri muslimin sebagai negeri yang boleh diperangi sehingga wajib berperang padanya. Mereka menyebarkan pemikiran ini melalui nasyid-nasyid, bahkan sampai pada pengadaan berbagai latihan terhadap anak-anak muda dalam penggunaan beragam persenjataan di tempat-tempat yang jauh dari pandangan/pantauan orang banyak, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

7. Pembagian berbagai kitab, bulletin, selebaran dan kaset-kaset yang mengajak kepada pemikiran khawarij dan pengkafiran kaum muslimin apalagi terhadap para ulama dan penguasa, dan kami akan sebutkan sejumlah kitab-kitab yangmengajak kepada pemikiran pengkafiran kaum muslimin tersebut, sebagai berikut :

- Karya-karya Sayyid Qutub, dan yang paling berbahaya adalah kitab-kitabnya yang berisikan pengkafiran terhadap umat Islam dizaman ini, penikaman/tuduhan-tuduhan batil yang diarahkan kepada para sahabat Rasulullah bahkan kepada para Nabi, seperti kitab “Fi Dhilalil Qur’an, “Kutub wa Syakhsyiyyat”, “Al Adalah al Ijtima’iyyah” dan “Ma’alim fi Thariq”.
- Karya-karya Abul A’la Al Maududi
- Karya-karya Hasan Al Banna
- Karya-karya Sa’id Hawwa
- Karya-karya ‘Isham Al Aththar
- Karya-karya Abul Fatah Al Bayanuni
- Karya-karya Muhammad Ali Ash Shabuni
- Karya-karya Muhammad Hasan Hambakah Al Maidani
- Karya-karya Hasan at Turabi
- Karya-karya Al Hudhaibi
- Karya-karya Tilmisani
- Karya-karya Ahmad Muhammad Ar Rasyid
- Karya-karya ‘Isham al Basyir
- Karya-karya, selebaran-selebaran dan kaset-kaset Muhammad Surur Zainal Abidin, pemimpin Al Muntada yang bermarkas di London dan kitab-kitab lainnya yang banyak tersebar di berbagai toko buku di negeri kita ini yang bermuatan pemikian pentakfiran ini. Oleh sebab itu sumber pemikiran ini harus “dikeringkan” karena bahayanya, dan harus dilarang peredarannya, serta mengawasi seluruh toko buku yang menggampangkan penyebaran, penjualan dan pembagiannya.

Kitab-kitab seperti ini jika dibaca oleh seorang pemuda yang belum matang pemikirannya dan tidak memiliki benteng berupa ilmu agama yang membentenginya dari pengaruh kitab-kitab tersebut, niscaya akan merusak otak dan pikirannya dan akan menjadikannya berjalan di atas ketidakpastian, sehingga dia akan senantiasa siap untuk melaksanakan apa saja yang dipinta darinya sekalipun dengan menumpahkan darahnya atau darah kaum muslimin atau darah orang-orang yang meminta jaminan keamanan dari penguasa muslim untuk tinggal di negerinya, semua itu dapat saja dilakukannya untuk sampai ke sasaran yaitu mati syahid di jalan Allah dan meraih keuntungan dengan masuk ke surga Allah.

Hal ini sebagaimana yang digambarkan oleh nara sumber mereka bahwasanya jalan itulah jalan yang benar, yang mana jika seorang menempuhnya pasti akan mencapai angan-angannya dan meraih kemenangan berupa ridha Allah. Dengan demikian pengkafiran, peledakan dan tindakan anarkis di negeri-negeri muslimin serta keluar dari manhaj/jalan salafush shalih merupakan jalan petunjuk menurut pandangan mereka.

كفى بك داء أن ترى المو ت شا فيا
وحسب النا يا أن يكن أما نى

”Cukuplah bagimu sebagai sebuah penyakit jika engkau berpandangan bahwa kematian adalah penyembuh”
”Dan cukuplah kematian itu sebagai sebuah angan-angan”

8. Keikutsertaan kebanyakan dari aktifis kelompok-kelompok pentakfiran seperti jama’ah Ikhwanul Muslimin dan cabang-cabangnya pada berbagai madrasah, pondok dan universitas kita dan mereka telah merubah (pola fikir) putra-putra kita dengan menanamkan pola fikir pentakfiran di antara mereka di sela-sela rihlah para mahasiswa, dan cerita-cerita yang kebanyakan tidak lepas dari sikap berlebih-lebihan dan dusta. Inilah di antara bidang-bidang upaya yang mana di sela-selanya mereka telah berhasil merusak kader-kader generasi muda kita dalam jumlah yang tiada sedikit, sehingga merekapun mengingkari manhaj, para ulama dan pemimpin mereka. Mereka menampakkan kepada genarasi kita bahwa merekalah yang berada di atas kebenaran dan yang selain mereka tidak benar.

Setelah penjelasan dan keterangan tentang sebab-sebab timbulnya pemikiran yang menyusup ke dalam agama dan ummat kita, ada sebuah pertanyaan (yang harus dijawab) yaitu bagaimanakah cara membentengi pemuda kita dari pemikiran ini? Untuk membendung bahaya pemikiran takfir ini, maka sepatutnya bagi kita baik secara individu maupun bersamaan untuk menempuh beberapa langkah sebagai berikut:

1. Mengajak generasi muda kita agar memegang teguh Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah serta kembali kepada keduanya dalam segala urusan, Allah ta’ala berfirman :

“Dan perpegang teguhlah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah bercerai-berai”. [Ali Imran : 103]

Dan Allah berfirman :

“Dan apa saja yang kamu perselisikan tentangnya maka hukumnya diserahkan kepada Allah”, [Asy Syura : 10]

Dengan demikian maka berpegang teguh pada Kitab Allah adalah benteng dan sandaran yang kokoh yang dengannya Allah memelihara dari kejatuhan kepada lembah kebinasaan.

2. Penekanan pada pemahaman Al Qur’an dan Sunnah sejalan dengan pemahaman salafush shalih, hal ini tidak dapat terwujud terkecuali jika kaum muslimin memahami agama mereka melalui para ulama rabbaniyyin yang senantiasa berupaya membersihkan Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah dari perubahan yang dilakukan oleh orang –orang yang melampaui batas terhadap Kitab Allah, yang menganggap baik kebatilan mereka dan penakwilan orang-orang jahil. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

“Tanyakanlah kepada orang yang berilmu jika kalian tidak mengetahui”[An Nahl : 43]

Dan Allah Ta’ala berfirman

“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada rasul dan ulil amri diantara mereka tentulah orang-orangorang yang ingin mengetehui kebenarannya akan dapat mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil amri)”.[An-Nisaa’: 83]

Dan memutus jalan orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi ini di antara mereka, yang dengan berani memberi fatwa tanpa ilmu, yang telah merusak nama baik ulama umat dan mensifati mereka dengan berbagai sifat yang pada hakikatnya sifat-sifat tersebut sesuai pada diri mereka. Karena keberadaan para pemuda disekeliling ulama pewaris Nabi yang memiliki ilmu mendalam di sana terdapat pemeliharaan terhadap mereka insya Allah dari para perampok yang berbicara tanpa ilmu dan yang mengiringi kebatilan, sementera mereka beranggapan bahwasanya tidak ada tempat rujukan untuk mengendalikan para pemuda itu.

3. Menjauhi tempat-tempat yang menjadi sumber fitnah untuk memelihara diri dari kejahatan fitnah tersebut dan pengaruhnya yang buruk, Allah Ta’ala berfirman :

“Dan peliharalah dirimu daripada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orangorang yang dhalim saja di antara kamu“ [Al Anfaal : 25]

Yang demikian itu dilakukan dengan menyegerakan diri untuk beramal saleh yang dengannya Allah memelihara hamba-hambaNya dari beragam fitnah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Segeralah kalian beramal sebelum datangnya berbegai fitnah yang berurutan ibarat kegelapan malam, yang mana seseorang di sore hari dia beriman dan di pagi hari dia telah menjadi kafir atau di pagi dia beriman dan di sore hari dia telah menjadi kafir, dia menjual agamanya dengan kesenangan dunia”.

Dan dari Abu Hurairah radiallahu ‘anhu berkata, Rasulullah bersabda.

”Akan terjadi berbagai fitnah, orang yang duduk (yang menjauhinya) lebih baik dari pada orang yang berdiri, orang yang berdiri lebih baik dari pada orang yang berjalan, orang yang berjalan lebih baik daripada orang berlari dan barang siapa yang mendekatinya akan dibinasakannya, barang siapa mendapat tempat perlindungan hendaklah ia berlindung padanya. [Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim]

4.. Bersungguh-sungguh dalam beribadah dan teqwa kepada Allah Azza wa Jalla dengan menjalankan perintah-perintahNya dan menjauhi larangan-laranganNya kerena itulah jalan keselamatan dari segala sesuatu yang dibenci, Allah Ta’ala berfirman :

“Dan barangsiapa bertaqwa kepada Allah Dia akan menjadikan urusannya mudah” [At-Tahrim : 4]

Dan Allah berfirman:

“Dan barang siapa bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan menjadikan baginya jalan keluar”. [At-Tahrim : 3]

Dengan demikian bertaqwa kepada Allah Ta’ala, itiqamah di atas syari’at-Nya dan mengamalkan berbagai amalan yang diridhai-Nya merupakan sebab bagi setiap keberuntungan dan keselamatan di dunia dan di akhirat.

5. Membendung dan melenyapkan segala fenomena kemaksiatan karena sesungguhnya tidaklah kaum muslimin ditimpa berbagai fitnah dan cobaan, kejelekan dan perbedaan kecuali hanyalah bersumber dari menyebarnya kemaksiatan dan kemungkaran, dan apa-apa yang menimpa mereka berupa musibah tiada lain kecuali disebabkan karena perbuatan-perbuatan tangan mereka sendiri, Allah Ta’ala berfirman :

”Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar) kamu berkata: "Dari mana datangnya (kekalahan) ini?" Katakanlah: "Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri". Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. [Al-Baqarah : 165]

“Telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan disebabkan perbuatan tangan-tangan manusia” [Ar Ruum : 41]

6. Menepati jama’ah kaum muslimin dan Imam mereka dan menanamkan dengan teguh pemahaman perihal ketaatan kepada pemimpin yang mengurusi urusan kaum muslimin di dalam hal yang ma’ruf, Allah ta’ala berfirman.

“Artinya : Hai orang-orang yang beriman taatlah kepada Allah dan taatlah kepada rasul dan para pemimpin kamu” [An-Nisa' : 59]

Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Artinya : Sesungguhnya Allah ridha bagi kamu tiga hal dan Dia murka bagi kamu tiga hal, Dia ridha bagi kamu untuk menyembah-Nya dan tidak menyekutukan sesuatu dengan-Nya , berpegang teguh kepada tali agama-Nya semuanya dan tidak bercerai berai dan agar kamu menasihati pemimpin yang diangkat oleh Allah untuk mengurusi urusan kamu”.

Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

”Artinya : Ada tiga hal yangmana hati seorang muslim tidak akan dengki terhadapnya selamanya: mengikhlaskan amal ibadah semata-mata kerena Allah, menasihati para pemimpin dan menetapi jama’ah kaum muslimin”

Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

”Artinya : Barangsiapa melihat dari pemimpinnya sesuatu yang dibencinya hendaklah ia bersabar karena sesungguhnya orang yang berpisah dari jama’ah kaum muslimin sejengkal lalu dia meninggal, maka matinya dalam keadaan mati jahiliyah” [Hadits riwayat Bukhari dari hadits Hudzaifah yang panjang]

Lalu Hudzaifah bertanya : “Apakah yang engkau perintahkan wahai Rasulullah jika aku mendapati hal itu? Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Artinya : Engkau menetapi jama’ah kaum muslimin dan pemimpin mereka”

Hudzaifah bertanya lagi : “Jika tidak terdapat jama’ah dan Imam pada kaum muslimin ? Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Artinya : Tinggalkanlah kelompok-kelompok itu semuanya walaupun engkau menggigit pokok pohon hingga kematian menjumpaimu dan engkau dalam keadaan yang demikian itu”

7. Senantiasa memohon pertolongan (kepada Allah) dengan berlaku sabar dalam neghaapi berbagai macam kesulitan, karena kesabaran mampu meredakan kebanyakan dari fitnah dan ujian. Allah berfirman :

“Artinya : Wahai orang-orang yang beriman mohonlah pertolongan dengan berlaku sabar dan shalat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar” [Al-Baqarah : 153]

Dan Dia juga berfirman :

“Artinya : Dan bersabarlah terhadap apa-apa yang menimpamu” [Luqman :17]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Artinya : Sangat menakjubkan perkara seorang mukmin, sungguh semua urusannya adalah kebaikan baginya, jika dia diberi ujian dengan hal-hal yang menyenangkan dia bersyukur, maka itu merupakan kebaikan baginya, dan jika ia ditimpa sesuatu yang tidak menyenagkan ia bersabar, maka itu merupakan kebaikan baginya. Yang demikian itu tidak dimiliki oleh siapapun kecuali seorang mukmin”.

8. Menangani segala urusan dengan lembut, penuh kehati-hatian, tidak tergesa-gesa dalam mengeluarka hukum dan fatwa, serta jauh dari sikap yang ditimbulkan oleh perasaan spontanitas dan kemarahan. Itulah sikap para Nabi dan Rasul serta para pengikut mereka, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

“Sesungghnya Ibrahim itu benar-benar seorang yang penyantun lagi penghiba dan suka bertaubat kepada Allah” [Huud : 75]

Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Asyaj bin Abdil Qais :

”Bahwasanya dalam dirimu terdapat dua perangai yang keduanya dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya, yaitu sikap penyantun dan penuh kehati-hatian”.

9. Menghiasi diri dengan sikap lemah-lembut, baik dalam berinteraksi dan lembut dalam menangani berbagai macam fitnah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Tidaklah sikap lembut itu ada pada suatu (urusan) kecuali akan menghiasi dan tidak pula ia ditinggalkan dari suatu (urusan) kecuali akan memperburuk urusan itu”.

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :

“Sesungguhnya Allah mencintai kelembutan dalam segala urusan”.

10. Bersungguh-sungguh dalam menggambarkan berbagai urusan sesuai dengan realitanya, memahami dan mengetahuinya, meneliti kedalamannya serta memperkirakan dampak yang ditimbulkan oleh bahayanya, sebab menghukumi sesuatu merupakan gambarannya. Maka seorang muslim tidak boleh terkecoh/ tertipu dengan sekedar hanya melihat pada fenomena gambaran suatu perkara. Akan tetapi seorang mukmin berkewajiban harus senantiasa dalam keadaan berjaga dan sadar bagi setiap sesuatu yang berputar disekelilingnya, sehingga anda tidak tertipu oleh pakaiannya, sementara dia mempersiapkan persiapannya untuk (mencelakakanmu), bersama dengan itu anda harus tetap teguh di atas (upaya) untuk sampai pada tujuan dan sasaran da’wah, dan tidak mudah mengalah/ mundur dari manhaj (jalan) yang hak serta tidak tergesa-gesa dalam mengeluarkan hukum atau menjerumuskan diri dalam masalah-masalah syari'at tanpa ilmu, Allah Subhanahu wa Ta’ala' berfirman :

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya”. [Al -Isra : 36]

11. Senantiasa tatsabbut (benar-benar meneliti) dalam segala urusan dan tidak mengambil prinsip terhadap isu-isu, apalagi yang disebarkan melalui sarana-sarana informasi dan jaringan-jaringan satelit international yang banyak bertujuan utk mengganggu kaum muslimin serta memecah belah dan melemahkan persatuan mereka, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”. [Al Hujurat : 6]

Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Hati-hatilah kalian dari bersangka, karena sesungguhnya persangkaan adalah perkataan yang paling dusta”

12. Dalam memvonis seseorang dengan istilah yang digunakan oleh agama seperti menghukumi seorang itu kafir atau fasiq atau Ahlul bid’ah kita kembali kepada ketentuan syari'at yang telah datang dalam Al-Qur'an dan sunnah serta bersikap waspada dari menghukumi kaum muslimin dengan serampangan tanpa sikap berhati-hati dan penelitian serta tatsabbut terhadap segala sesuatu yang didengar. Karena sikap serampangan dalam masalah ini mengandung bahaya. Karena haram bagi seorang muslim untuk mengkafirkan saudaranya sesama muslim dengan dengan menentukan individunya meskipun dia tetap melaksanakan suatu perbuatn yang mengharuskannya menjadi kafir. Namun semua itu harus sesudah terpenuhinya segala persyaratan pengkafiran dan lenyapnya segala penghalang (yang menghalanginya dari kekufuran)

Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingati agar waspada dari perbuatan ini di mana beliau bersabda :

“Tidaklah seseorang menuduh fasiq atau kafir kepada orang lain kecuali tindakan itu akan kembali kepadanya jika tidak demikian keadaan temannya yang dituduh dengan tuduhan tersebut”. [Hadits riwayat Bukhari dan Muslim, dari hadits Abu Dzar]

Dari Abdullah bin 'Umar Radhiyallahu ‘anhu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Siapa yang berkata kepada saudaranya : “Wahai kafir”, berarti telah kembali kepada salah satu dari keduanya” [Hadits Riwayat Bukhari- Muslim]

Dalam menerangkan makna hadits ini Ibnu Daqiq Al 'Ied berkata :

“Ini merupakan ancaman yang besar bagi siapa saja yang mengkafirkan siapa saja dari kaum muslimin padahal tidak demikian keadaannya, dan perbuatan ini adalah kebinasaan yang besar, telah terjerumus di dalamnya sejumlah besar dari golongan orang-orang mutakallimin dan mereka yang menisbatkan diri kepada sunnah dan Ahlul Hadits tatkala mereka berselisih dalam masalah aqidah, maka merekapun berlebih-lebihan dalam mensikapi orang yang menyelisihi mereka dan menghukumi mereka dengan kekafiran”.

Dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menguatkan pendapat ini dengan mengatakan :

“Aku diantara orang yang paling melarang terhadap penisbatan orang tertentu kepada kekafiran, kefasiqan dan kemaksiatan kecuali jika telah diketahui bahwa hujjah telah benar-benar ditegakkan atasnya. Yang mana barang siapa menyelishinya terkadang dia menjadi kafir atau fasiq atau sebagai pelaku kemaksiatan dan sesungguhnya aku menetapkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengampuni umat ini akan kesalahannya dan itu mencakup kesalahan dalam berbagai masalah yang bersifat berita secara perkataan maupun masalah-masalah perbuatan”.

Inilah sebagian perkara yang sepatutnya bagi seorang muslim untuk memeliharanya tatkala munculnya berbagai fitnah dan merupakan kewajiban bagi seluruh kaum muslimin secara individu maupun masyarakat, para pemerintah maupun rakyat dan ulama’ maupun para penuntut ilmu hendaknya mereka melipat gandakan segala jerih payah mereka untuk memberantas berbagai fitnah serta mencabutnya dari akar-akarnya, apalagi yang sedang terjadi pada saat ini berupa fitnah-fitnah pengkafiran yang telah sampai penghalalan darah dan harta benda kaum muslimin serta tindakan pengrusakan terhadap bangunan mereka dengan menggunakan sarana-sarana penghancuran dan peledakan . Yang mana mereka didukung secara finansial oleh sebagian organisasi gelap dan penulis yang dibayar serta fatwa-fatwa yang menyesatkan yang menjerumuskan kepada penipuan terhadap sebagian generasi muda yang belum matang pemikiran mereka. di mana mereka merubah menjadi pelaku tindak kerusakan yang membunuh kaum muslimin dan orang-orang asing yang dijamin keamanannya oleh negara, serta mereka melampaui batas terhadap benda dan harta lalu mereka menamakan itu semuanya sebagai jihad dan ini adalah termasuk pemberian nama terhadap sesuatu yang tidak semestinya”.

Dan mesti disini saya isyaratkan sikap-sikap manusia terhadap jihad, agar gambarannya jelas bagi pencari kebenaran :

A. Sikap Ahlu Sunnah Wal Jama'ah
Bahwasanya jihad itu disyariatkan dan akan tetap ada hingga hari kiamat, dibelakang setiap pemimpin muslim yang baik maupun yang fasik, dan setiap orang muslim wajib menyiapkan diri untuk berjihad hingga ia berjumpa dengan Allah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Artinya : Barangsiapa yang mati sedang dia belum berperang (berjihad) dan tidak pernah terdetik dalam dirinya untuk berperang maka dia mati diatas salah satu cabang kemunafikan”.

1. Akan tetapi dalam berjihad haruslah terpenuhi syarat-syarat dan faktor-faktor penunjangnya, di antaranya adalah :
2. Hendaklah berjihad semata-mata mengharapkan wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala' dan kaum muslimin mempunyai senjata, kekuatan, dan pertahanan.
3. Berjihad dalam satu komando di bawah bendera kaum muslimin.
Seorang Imam kaum muslimin (pemimpin) mengumandangkan seruan untuk berjihad.
4. Hendaknya (sebelum mereka diperangi) telah diserukan dakwah agar mereka masuk Islam, akan tetapi mereka menolak seruan tersebut atau mereka menghalang-halangi dari tersebarnya Islam
5. Hendaknya benar-benar yakin dalam berjihad tidak menimbulkan kemudharatan bagi Islam dan muslimin.

Jika telah terpenuhi syarat-syarat dan faktor-faktor yang menunjangnya maka marilah kita berjihad, dan kalaulah tidak terpenuhi syarat-syarat tersebut maka janganlah kita berjihad.

B. Sikap orang-orang yang meremehkan masalah berjihad walupun terpenuhi persyaratan dan faktor-faktor penunjangnya dengan dakwaan bahwa yang tersisa saat ini hanyalah jihad akbar, yang mereka maksudkan yaitu jihad an-nafs (jihad melawan hawa nafsu), dan mereka senantiasa menyebutkan hadits maudlu’ (palsu):

“Kami kembali dari jihad yang kecil menuju jihad yang besar (jihad akbar, yaitu jihad melawan hawa nafsu).”

Ini adalah manhajnya orang-orang sufi yang suka berjalan-jalan di berbagai negeri dengan mengatasnamakan dakwah dan mereka juga memakai hadits-hadits dha’if (lemah), palsu serta mimpi-mimpi sebagai sandarannya.

C. Suatu kelompok yang menamakan jihad dengan tidak semestinya, mereka itu adalah “khawarij” zaman ini , dimana pendahulu mereka telah keluar dari kaum muslimin semenjak terbunuhnya Utsman bin Affan dan Ali bin Abu Thalib (semoga Allah meridhai keduanya) hingga keluar kelompok mereka bersama Dajjal, mereka sebagaimana hal ini diberitakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka mengajak kepada penyembah berhala dan membunuh muslimin. Mereka membaca Al Qur’an yang tidak melampaui kerongkongan mereka, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menamai mereka sebagai : “Anjing neraka”, pembunuhan yang jelek adalah pembunuhan yang dilakukan “khawarij”, mereka “menyembelih” kaum muslimin dalam negeri Islam, dan mereka meyakini bahwa negeri kaum muslimin adalah negeri peperangan, dan mereka telah memberikan kepada musuh-musuh Islam “pelayananan” yang mereka tidak akan memperolehnya dengan sarana-sarana mereka.

Maka wajib bagi setiap kaum muslimin sesuai dengan kemampuannya masing-masing untuk menyingkap “kepalsuan” mereka dan menerangkan kesesatan mereka hingga tidak tersebar kerusakan mereka, dan bertambah genting perkara mereka, dan diharamkan untuk menutup-nutupi salah seorang dari mereka, karena hal ini adalah termasuk tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”[Al Maidah : 3]

Barangsiapa melindungi dan menutup-nutupi (keadaan) mereka, atau membela mereka, atau (malah) membenarkan perbuatan mereka, maka berarti ikut serta membunuh jiwa-jiwa yang tak bersalah dan terjaga dari kalangan kaum muslimin dan non muslim yang dijamin keamanan mereka, orang non muslim yang mempunyai perjanjian, dan ahli dzimmah (orang-orang non muslim yang tinggal dinegeri kaum muslimim), dan sesuai baginya hadits yang benar datangnya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

لعن الله من اوى محد شا

“Semoga laknat Allah ditimpakan atas orang yang melindungi orang yang berbuat kejahatan”

Kami mohon kepada Allah yang Mulia Pencipta Arsy yang Agung, dengan nama-namanya yang tinggi agar Dia menjaga kaum muslimin dan secara umum dan dan negeri ini (Saudi Arabia) secara khusus, baik itu agamanya, keamanannya, stabilitasnya. Dan agar Dia memberi petunjuk kaum muslimin yang tersesat, dan mengembalikan mereka kepada agama mereka dengan cara kembali yang baik, dan menyatukan kalimat mereka diatas kebenaran , dan akhir do’a kita adalah “Segala puji bagi Allah Robbul Alamin, dan shalawat serta salam atas nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabat beliau seluruhnya.

[Diterjemahkan dari www.alaser.net]

Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga


MENUNTUT ILMU JALAN MENUJU SURGA


Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas



Segala puji hanya bagi Allah, kami memuji-Nya, memohon pertolongan dan ampunan kepada-Nya, kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri-diri kami dan kejelekan amal perbuatan kami. Barangsiapa yang Allah beri petunjuk, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang Allah sesatkan, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk.

Aku bersaksi bahwasanya tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwasanya Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba dan Rasul-Nya.

"Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.[Ali ‘Imran: 102]

“Wahai manusia! Bertakwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)nya; dan dari keduanya Allah memperkembang-biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan Nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.” [An-Nisaa': 1]

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar, niscaya Allah akan memperbaiki amal-amalmu dan mengampuni dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh ia menang dengan kemenangan yang besar.” [Al-Ahzaab: 70-71]

Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah (Al-Qur-an) dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam (As-Sunnah). Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan (dalam agama), setiap yang diada-adakan (dalam agama) adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka.

Amma ba’du:
Kepada saudara-saudaraku seiman dan se’aqidah...
Mensyukuri nikmat-nikmat Allah adalah wajib hukumnya. Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman:

“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.” [Al-Baqarah: 153]

Juga firman-Nya:

“Dan jika kamu menghitung nikmat-nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan dapat menghitungnya. Sesungguhnya manusia sangat zhalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” [Ibrahim : 34]

Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan bahwa manusia sangat zhalim dan sangat kufur karena mereka tidak mensyukuri nikmat-nikmat Allah yang diberikan kepada mereka.

Di antara nikmat yang Allah berikan kepada kita adalah nikmat Islam, iman, rizki, harta, umur, waktu luang, dan kesehatan untuk beribadah kepada Allah dengan benar dan untuk menuntut ilmu syar’i.

Manusia diberikan dua kenikmatan, namun banyak di antara mereka yang tertipu. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Dua nikmat yang banyak manusia tertipu dengan keduanya, yaitu nikmat sehat dan waktu luang.”[1]

Banyak di antara manusia yang tidak mengguna-kan waktu sehat dan waktu luangnya dengan sebaik-baiknya. Ia tidak gunakan untuk belajar tentang Islam, tidak ia gunakan untuk menimba ilmu syar’i. Padahal dengan menghadiri majelis taklim yang mengajarkan Al-Quran dan As-Sunnah menurut pemahaman para Shahabat, akan bertambah ilmu, keimanan, dan ketakwaannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Juga dapat menambah amal kebaikannya.

Semoga melalui majelis taklim yang kita kaji dari kitab-kitab para ulama Salaf, Allah memberikan hidayah kepada kita di atas Islam, ditetapkan hati dalam beriman, istiqamah di atas Sunnah, serta diberikan hidayah taufik oleh Allah untuk dapat melaksanakan syari’at Islam secara kaffah (menyeluruh) dan kontinyu hingga kita diwafatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam keadaan mentauhidkan Allah dan melaksanakan Sunnah. Semoga Allah senantiasa memudahkan kita untuk selalu menuntut ilmu syar’i, diberikan kenikmatan atasnya, dan diberikan pemahaman yang benar tentang Islam dan Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih.

Seorang Muslim tidak akan bisa melaksanakan agamanya dengan benar, kecuali dengan belajar Islam yang benar berdasarkan Al-Qur-an dan As-Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih. Agama Islam adalah agama ilmu dan amal karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam diutus dengan membawa ilmu dan amal shalih.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

“Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi.” [Al-Fat-h: 28]

Yang dimaksud dengan al-hudaa (petunjuk) dalam ayat ini adalah ilmu yang bermanfaat. Dan yang dimaksud dengan diinul haqq (agama yang benar) adalah amal shalih. Allah Ta’ala mengutus Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menjelaskan kebenaran dari kebatilan, menjelaskan Nama-Nama Allah, sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya, hukum-hukum dan berita yang datang dari-Nya, serta memerintahkan untuk melakukan segala apa yang bermanfaat bagi hati, ruh, dan jasad.

Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyuruh ummat-nya agar mengikhlaskan ibadah semata-mata karena Allah Ta’ala, mencintai-Nya, berakhlak yang mulia, beradab dengan adab yang baik dan melakukan amal shalih. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang ummatnya dari perbuatan syirik, amal dan akhlak yang buruk, yang berbahaya bagi hati, badan, dan kehidupan dunia dan akhiratnya. [2]

Cara untuk mendapat hidayah dan mensyukuri nikmat Allah adalah dengan menuntut ilmu syar’i. Menuntut ilmu adalah jalan yang lurus untuk dapat membedakan antara yang haq dan yang bathil, Tauhid dan syirik, Sunnah dan bid’ah, yang ma’ruf dan yang munkar, dan antara yang bermanfaat dan yang membahayakan. Menuntut ilmu akan menambah hidayah serta membawa kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.

Seorang Muslim tidaklah cukup hanya dengan menyatakan keislamannya tanpa berusaha untuk memahami Islam dan mengamalkannya. Pernyataannya harus dibuktikan dengan melaksanakan konsekuensi dari Islam. Karena itulah menuntut ilmu merupakan jalan menuju kebahagiaan yang abadi.

[1]. Menuntut Ilmu Syar’i Wajib Bagi Setiap Muslim Dan Muslimah
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim.”[3]

Imam al-Qurthubi rahimahullaah menjelaskan bahwa hukum menuntut ilmu terbagi dua:

Pertama, hukumnya wajib; seperti menuntut ilmu tentang shalat, zakat, dan puasa. Inilah yang dimaksudkan dalam riwayat yang menyatakan bahwa menuntut ilmu itu (hukumnya) wajib.

Kedua, hukumnya fardhu kifayah; seperti menuntut ilmu tentang pembagian berbagai hak, tentang pelaksanaan hukum hadd (qishas, cambuk, potong tangan dan lainnya), cara mendamaikan orang yang bersengketa, dan semisalnya. Sebab, tidak mungkin semua orang dapat mempelajarinya dan apabila diwajibkan bagi setiap orang tidak akan mungkin semua orang bisa melakukannya, atau bahkan mungkin dapat menghambat jalan hidup mereka. Karenanya, hanya beberapa orang tertentu sajalah yang diberikan kemudahan oleh Allah dengan rahmat dan hikmah-Nya.

Ketahuilah, menuntut ilmu adalah suatu kemuliaan yang sangat besar dan menempati kedudukan tinggi yang tidak sebanding dengan amal apa pun.[4]

[2]. Menuntut Ilmu Syar’i Memudahkan Jalan Menuju Surga
Setiap Muslim dan Muslimah ingin masuk Surga. Maka, jalan untuk masuk Surga adalah dengan menuntut ilmu syar’i. Sebab Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Barangsiapa yang melapangkan satu kesusahan dunia dari seorang mukmin, maka Allah melapangkan darinya satu kesusahan di hari Kiamat. Barangsiapa memudahkan (urusan) atas orang yang kesulitan (dalam masalah hutang), maka Allah memudahkan atasnya di dunia dan akhirat. Barangsiapa menutupi (aib) seorang muslim, maka Allah menutupi (aib)nya di dunia dan akhirat. Allah senantiasa menolong hamba selama hamba tersebut senantiasa menolong saudaranya. Barangsiapa yang meniti suatu jalan untuk mencari ilmu, maka Allah memudahkan untuknya jalan menuju Surga. Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allah (masjid) untuk membaca Kitabullah dan mempelajarinya di antara mereka, melainkan ketenteraman turun atas mereka, rahmat meliputi mereka, Malaikat mengelilingi mereka, dan Allah menyanjung mereka di tengah para Malaikat yang berada di sisi-Nya. Barangsiapa yang lambat amalnya, maka tidak dapat dikejar dengan nasabnya.” [5]

Di dalam hadits ini terdapat janji Allah ‘Azza wa Jalla bahwa bagi orang-orang yang berjalan dalam rangka menuntut ilmu syar’i, maka Allah akan memudahkan jalan baginya menuju Surga.

“Berjalan menuntut ilmu” mempunyai dua makna:
Pertama : Menempuh jalan dengan artian yang sebenarnya, yaitu berjalan kaki menuju majelis-majelis para ulama.

Kedua : Menempuh jalan (cara) yang mengantarkan seseorang untuk mendapatkan ilmu seperti menghafal, belajar (sungguh-sungguh), membaca, menela’ah kitab-kitab (para ulama), menulis, dan berusaha untuk memahami (apa-apa yang dipelajari). Dan cara-cara lain yang dapat mengantarkan seseorang untuk mendapatkan ilmu syar’i.

“Allah akan memudahkan jalannya menuju Surga” mempunyai dua makna. Pertama, Allah akan memudah-kan memasuki Surga bagi orang yang menuntut ilmu yang tujuannya untuk mencari wajah Allah, untuk mendapatkan ilmu, mengambil manfaat dari ilmu syar’i dan mengamalkan konsekuensinya. Kedua, Allah akan memudahkan baginya jalan ke Surga pada hari Kiamat ketika melewati “shirath” dan dimudahkan dari berbagai ketakutan yang ada sebelum dan sesudahnya. Wallaahu a’lam.•

Juga dalam sebuah hadits panjang yang berkaitan tentang ilmu, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Barangsiapa yang berjalan menuntut ilmu, maka Allah mudahkan jalannya menuju Surga. Sesungguhnya Malaikat akan meletakkan sayapnya untuk orang yang menuntut ilmu karena ridha dengan apa yang mereka lakukan. Dan sesungguhnya seorang yang mengajarkan kebaikan akan dimohonkan ampun oleh makhluk yang ada di langit maupun di bumi hingga ikan yang berada di air. Sesungguhnya keutamaan orang ‘alim atas ahli ibadah seperti keutamaan bulan atas seluruh bintang. Sesungguhnya para ulama itu pewaris para Nabi. Dan sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar tidak juga dirham, yang mereka wariskan hanyalah ilmu. Dan barangsiapa yang mengambil ilmu itu, maka sungguh, ia telah mendapatkan bagian yang paling banyak.”[6]

Jika kita melihat para Shahabat radhiyallaahu anhum ajma’in, mereka bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu syar’i. Bahkan para Shahabat wanita juga bersemangat menuntut ilmu. Mereka berkumpul di suatu tempat, lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mendatangi mereka untuk menjelaskan tentang Al-Qur-an, menelaskan pula tentang Sunnah-Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala juga memerintahkan kepada wanita untuk belajar Al-Qur-an dan As-Sunnah di rumah mereka.
Sebagaimana yang Allah Ta’ala firmankan,

"Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan (bertingkah laku) seperti orang-orang Jahiliyyah dahulu, dan laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat, taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai Ahlul Bait, dan membersihkan kamu dengan sebersih-bersihnya. Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan al-Hikmah (Sunnah Nabimu). Sungguh, Allah Mahalembut, Maha Menge-tahui.” [Al-Ahzaab: 33-34]

Laki-laki dan wanita diwajibkan menuntut ilmu, yaitu ilmu yang bersumber dari Al-Qur-an dan As-Sunnah karena dengan ilmu yang dipelajari, ia akan dapat mengerjakan amal-amal shalih, yang dengan itu akan mengantarkan mereka ke Surga.

Kewajiban menuntut ilmu ini mencakup seluruh individu Muslim dan Muslimah, baik dia sebagai orang tua, anak, karyawan, dosen, Doktor, Profesor, dan yang lainnya. Yaitu mereka wajib mengetahui ilmu yang berkaitan dengan muamalah mereka dengan Rabb-nya, baik tentang Tauhid, rukun Islam, rukun Iman, akhlak, adab, dan mu’amalah dengan makhluk.

[3]. Majelis-Majelis Ilmu adalah Taman-Taman Surga
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Apabila kalian berjalan melewati taman-taman Surga, perbanyaklah berdzikir.” Para Shahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah yang dimaksud taman-taman Surga itu?” Beliau menjawab, “Yaitu halaqah-halaqah dzikir (majelis ilmu).” [7]

‘Atha' bin Abi Rabah (wafat th. 114 H) rahimahullaah berkata, “Majelis-majelis dzikir yang dimaksud adalah majelis-majelis halal dan haram, bagaimana harus membeli, menjual, berpuasa, mengerjakan shalat, menikah, cerai, melakukan haji, dan yang sepertinya.” [8]

Ketahuilah bahwa majelis dzikir yang dimaksud adalah majelis ilmu, majelis yang di dalamnya diajarkan tentang tauhid, ‘aqidah yang benar menurut pemahaman Salafush Shalih, ibadah yang sesuai Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, muamalah, dan lainnya.

Buku yang ada di hadapan pembaca merupakan buku “Panduan Menuntut Ilmu”. Di antara yang penulis jelaskan di dalamnya adalah keutamaan menuntut ilmu, kiat-kiat dalam meraih ilmu syar’i, penghalang-penghalang dalam memperoleh ilmu, adab-adab dalam menuntut ilmu, hal-hal yang harus dijauhkan oleh para penuntut ilmu, perjalanan ulama dalam menuntut ilmu, dan yang lainnya. Penulis jelaskan masalah menuntut ilmu karena masalah ini sangatlah penting. Sebab, seseorang dapat memperoleh petunjuk, dapat memahami dan mengamalkan Islam dengan benar apabila ia belajar dari guru, kitab, dan cara yang benar. Sebaliknya, jika seseorang tidak mau belajar, atau ia belajar dari guru yang tidak mengikuti Sunnah, atau melalui cara belajar dan kitab yang dibacakan tidak benar, maka ia akan menyimpang dari jalan yang benar.

Para ulama terdahulu telah menulis kitab-kitab panduan dalam menuntut ilmu, seperti Imam Ibnu ‘Abdil Barr dengan kitabnya Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, Imam Ibnu Jama’ah dengan kitabnya Tadzkiratus Samii’, begitu pula al-Khatib al-Baghdadi yang telah menulis banyak sekali kitab tentang berbagai macam disiplin ilmu, bahkan pada setiap disiplin ilmu hadits beliau tulis dalam kitab tersendiri. Juga ulama selainnya seperti Imam Ibnul Jauzi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (dalam Majmuu’ Fataawaa-nya dan kitab-kitab lainnya), Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (dalam kitabnya Miftaah Daaris Sa’aadah dan kitab-kitab lainnya), dan masih banyak lagi para ulama lainnya hingga zaman sekarang ini, seperti Syaikh bin Baaz, Syaikh al-Albani, dan Syaikh al-‘Utsaimin rahimahumullaah.

Dalam buku ini, penulis berusaha menyusunnya dari berbagai kitab para ulama terdahulu hingga sekarang dengan harapan buku ini menjadi panduan agar memudahkan kaum Muslimin untuk menuntut ilmu, memberikan semangat dalam menuntut ilmu, beradab dan berakhlak serta berperangai mulia yang seharusnya dimiliki oleh setiap penuntut ilmu. Mudah-mudahan buku ini bermanfaat bagi penulis dan para pembaca sekalian, serta bagi kaum Muslimin. Mudah-mudahan amal ini diterima oleh Allah Subhaanahu wa Ta'ala dan menjadi timbangan amal kebaikan penulis pada hari Kiamat. Dan mudah-mudahan dengan kita menuntut ilmu syar’i dan mengamalkannya, Allah ‘Azza wa Jalla akan memudahkan jalan kita untuk me-masuki Surga-Nya. Aamiin.

Semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpah-kan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan para Shahabat beliau, serta orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengan kebaikan hingga hari Kiamat.

[Disalin dari Muqaddimah buku Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga “Panduan Menuntut Ilmu”, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa

Aqidah Dan Ilmu Pengetahuan


Oleh : Ust. Masdar Abu Yafie

Di posting Di blog ini Oleh :Hamba Allah

Islam Dan pendidikan tidak dapat dipisahkan. Menjadikan aqidah sebagai dasar kurikulum juga merupakan sebuah keharusan. Aqidah islam sebagai dasar kurikulum bukan berarti setiap ilmu pengetahuan wajib bersumber dari aqidah Islam. Islam tidak memerintahkan demikian, lagi pula hal itu sangat bertentangan dengan kenyataan, Karena tidak semua ilmu pengetahuan bersumber dari Aqidah Islam . Misal : Ilmu Bahasa ,sains dan teknologi dan lainnya. Aqidah islam hanya menyangkut doktrin dan hukum islam , sama sekali tidak ada hubungannya dengan yang lain. Akan tetapi setiap pengetahuan yang dengan keimanan dan

hukum harus bersumber dari Aqidah Islam , Karena aqidah muncul dengan membawa dua unsur ini ( keimanan dan hukum )

adapun yang dimaksud dengan meletakkan aqidah islam sebagai dasar dari ilmu pengetahuan selain menyangkut masalah keimanan dan hukum ialah agar aqidah islam dijadikan standar penilaian . Adapun yang bertentangan dengan aqidah islam tidak boleh diambil atau diyakini. Sedangkan yang tidak bertentangan dengan aqidah islam boleh diambil. Aqidah menjadi tolak ukur apakah sesuatu itu boleh diambil atau tidak. Oleh karena itu mempelajari segala macam ilmu pengetahuan bukan merupakan penghalang karena dalil - dalil yang menganjurkan menuntut ilmu pengetahuan bersifat umum ( 'aam )

Rasulullah SAW bersabda :

" menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim " ( HR Ibnu Adi dan Baihaqi )

" Carilah ilmu sekalipun ke negri Cina " ( HR Ibnu Adi dan Baihaqi )

Dalam HAdist diatas bersifat 'aam , Mencakup jenis ilmu pengetahuan , baik itu ilmu -ilmu yang berkaitan dengan teknologi , Industri , ilmu pengetahuan alam , ilmu logika dan lain sebagainya

Rasulullah SAW bersabda :

" Barang siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu , Maka Allah memudahkan jalan baginya menuju syurga ." ( HR Muslim , Tirmidzi dan Abu Hurairah ).

Lafaz 'ilman dalam Hadis diatas adalah nakiroh ( Kata sandang yang tidak tentu ) yang bersifat umum. Jadi , Mencakup segalam macam ilmu pengetahuan. Oleh Karena itu tidak dapat larangan di dalam islam untuk mempelajari ilmu pengetahuan apapun, selama ia tidak bertentangan dengan aqidah islamiyah.

Al qur'an Misalnya mengandung beberapa pemikiran dan keyakinan tentang berbagai macam agama dan golongan yang terdapat di masa Nabi SAW

Jadi jelas bahwa mempelajari pengetahuan yang bertentangan dengan Aqidah Islam dengan syarat tidak dijadikan pegangan dan keyakinan adalah boleh hukumnya yang dilarang adalah
mengambil pemikiran yang terkandung di dalam suatu pengetahuan tertentu yang betentangan dengan Aqidah islam dan dijadikan pegangan.

Beberapa contoh misalnya adalah pemikiran - pemikiran yang bertentangan dengan Aqidah islam adalah teori evolusinya Darwin , Yang menyatakan bahwa perkembangan manusia berawal dari hewan primata ( Kera )

Teori ini sangat bertentangan dengan firman Allah SWT :

" Sesungguhnya perumpamaaan Isa disisi Allah seperti halnya perumpamaan Adam. Ia diciptakan dari tanah , Kemudian dia katakan : " Jadilah engkau ! " maka jadilah ia.
(QS. ALI IMRAN : 59 )

dalam aspek sosial teori ini sangat berbahaya mempengaruhi cara berfikiran masyarakat dengan pendapatnya bahwa yang yang terkuat akan tumbuh dan menang , sesuai dengan seleksi alam.

Contoh pengetahuan lain yang bertentangan dengan aqidah islam adalah teori perkembangan
( evolusi ) materi menurut keyakinan kaum komunis.Teori ini berpendapat bahwa materi itu berkembang dengan sendirinya.

Tidak ada faktor lain yang turut campur mengadakannya ataupun menumbuhkannya. Dalam bidang Biologi teori ini dalam perkembangannnya dikenal dengan istilah
" Generatio spontanea " bahwa makhluk hidup ( dalam Hal ini organisme sel ) tercipta dengan sendirinya. Menurut teori ini rabb tidak ada , padahal Allah SWT berfirman :

" wahai orang - orang yang beriman , percayalah kamu semua kepada Allah."
( QS. An nisa' : 136 )

" Allah telah menciptakan langit dan bumu dan apa yang ada diantara keduanya."
(QS. As sajadah : 4 )

Dr Thaha Husain adalah salah satu sastrawan mesir dalam bukunya , al 'adab al jahili , mengatakan :

" sesungguhnya kisah Ibrahim yang berkenaan dengan pembangunan ka'bah adalah Dusta. Kisah itu hanya di buat - buat oleh orang ahli Hikayat ( dongeng ) yang tidak ada dasarnya."

Disini Dr. Thaha Husain mengingkari kisah ibrahim beserta putranya Ismail AS . Padahal kisah ini disebutkan dalam alqur'an menceritakan bahwa kejadian itu kenyataan bukan dongengan yang mengada - ada.

Allah SWT berfirman :

" Dan ingatlah sewaktu Ibrahim mengangkat pondasi Ka'bah bersama ismail ( seraya berdo'a )
" wahai Rabb kami, terimalah ( pengabdian ) ini dari kami , sesungguhnya Engkau maha mendengar lagi maha mengetahui." ( QS. Al Baqarah : 127 )

Dr Muhammad Iqbal , seorang sastrawan Pakistan , dalam bukunya , " tajdidul fikri ad diini fil islam " ( Pembaharuan pemikiran agama menurut islam) , Mengatakan bahwa :

" Jannah dan Nar ( surga dan neraka ) adalah hanya suatu pengertian dari dua perasaan hati yang dibuahkan oleh kesuksesan atau kegagalan manusia di
Dunia "

Pendapat Muhammad Iqbal ini sangat bertentangan dengan fakta didalam Al Qur'an :

" Inilah Neraka jahannam yang didustakan oleh orang - orang yang berdosa. Mereka berkeliling diantaranya dan diantara air yang mendidih yang memuncak panasnya."
( QS. Ar rahman : 43 - 44 )


Inilah beberapa ilmu atau pemikiran yang boleh diketahui tetapi tidak boeh menjadi pegangan karena tidak sesuai dengan aqidah islam.

Membungkus Keharaman Membenarkan Kebatilan


Penulis: Al-Ustadz Abu Abdillah Abdurrahman Mubarak

Seorang muslim jangan pernah merasa aman dari penyimpangan dalam hidupnya. Seorang muslim harus senantiasa introspeksi diri serta menimbang setiap amal dan perbuatannya dengan syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jangan sampai dia teperdaya serta terlena dengan makar dan tipu daya Iblis la’natullah ‘alaih.

Iblis adalah makhluk Allah Subhanahu wa Ta’ala yang terlaknat dan terkutuk. Permusuhannya kepada bani Adam sangatlah besar. Sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk menjadikan Iblis sebagai musuh disertai minta perlindungan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari setan yang terkutuk.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman menegaskan terkutuknya Iblis:
قَالَ فَاخْرُجْ مِنْهَا فَإِنَّكَ رَجِيمٌ. وَإِنَّ عَلَيْكَ لَعْنَتِي إِلَى يَوْمِ الدِّينِ
“Maka keluarlah kamu dari surga. Sesungguhnya kamu makhluk yang terkutuk. Sesungguhnya laknat-Ku tetap atasmu sampai hari pembalasan.” (Shad: 77-78)
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengabarkan kepada kita bagaimana besarnya upaya Iblis untuk menyesatkan manusia dari agama Allah Subhanahu wa Ta’ala:
قَالَ فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَ. ثُمَّ لَآتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَائِلِهِمْ وَلَا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ
Iblis menjawab: “Karena Engkau telah menetapkan aku tersesat, maka aku benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus. Kemudian aku akan mendatangi mereka dari muka dan belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat).” (Al-A’raf: 16-17)
Qatadah rahimahullahu mengatakan: “Setan mendatangimu, wahai bani Adam, dari segala penjuru kecuali dari atasmu, karena dia tidak bisa menghalangi kamu dari rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Ibnul Qayim rahimahullahu menerangkan, “Ayat ini menjelaskan dengan rinci apa yang disebutkan secara global dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
قَالَ فَبِعِزَّتِكَ لَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ
“Iblis menjawab: ‘Demi kekuasaan Engkau, aku akan menyesatkan mereka semuanya’.” (Shad: 82)
Juga firman-Nya:
إِنْ يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ إِلَّا إِنَاثًا وَإِنْ يَدْعُونَ إِلَّا شَيْطَانًا مَرِيدًا. لَعَنَهُ اللهُ وَقَالَ لَأَتَّخِذَنَّ مِنْ عِبَادِكَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا. وَلَأُضِلَّنَّهُمْ وَلَأُمَنِّيَنَّهُمْ وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُبَتِّكُنَّ ءَاذَانَ الْأَنْعَامِ وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللهِ وَمَنْ يَتَّخِذِ الشَّيْطَانَ وَلِيًّا مِنْ دُونِ اللهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُبِينًا. يَعِدُهُمْ وَيُمَنِّيهِمْ وَمَا يَعِدُهُمُ الشَّيْطَانُ إِلَّا غُرُورًا
Yang mereka sembah selain Allah itu, tidak lain hanyalah berhala (yang dinamai dengan nama perempuan), mereka tidak lain hanyalah menyembah setan yang durhaka yang dilaknati Allah dan setan itu mengatakan: “Aku benar-benar akan mengambil dari hamba-hamba Engkau bagian yang sudah ditentukan (untukku). Dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka, membangkitkan angan-angan kosong kepada mereka, dan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak). Lalu mereka benar-benar memotongnya dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala), lalu benar-benar mereka mengubahnya.” Barangsiapa menjadikan setan menjadi pelindung selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata. Setan itu memberikan janji-janji kepada mereka dan membangkitkan angan-angan kosong kepada mereka, padahal setan itu tidak menjanjikan kepada mereka selain dari tipuan belaka. (An-Nisa’: 117-120)
Demikianlah gambaran dahsyatnya permusuhan Iblis kepada seorang muslim.

Makar dan tipu daya Iblis
Ketahuilah, Iblis melakukan berbagai makar, tipu muslihat serta memasang jeratnya untuk menyesatkan bani Adam dan menjauhkan mereka dari agama Allah Subhanahu wa Ta’ala. Banyak orang terlena dan tertipu merasa yakin sedang mengamalkan kebaikan, padahal dia sedang terjerumus tipu daya dan jerat-jerat setan.
Di antara sekian perbuatan sebagian kaum muslimin yang menyelisihi aqidah Islam adalah melakukan hilah untuk menghalalkan yang haram dan membenarkan kebatilan. Ini merupakan perbuatan orang Yahudi, orang munafik, dan termasuk bentuk tipu daya setan kepada bani Adam.
Ibnul Qayim rahimahullahu menegaskan, “Di antara tipu muslihat Iblis untuk menipu Islam dan kaum muslimin adalah hilah, makar, dan penipuan yang mengandung penghalalan apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala haramkan dan pengguguran apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala wajibkan, perintah dan larangan-Nya. (Ighatsatul Lahafan, 1/338)
Makna Hilah
Hilah sama dengan mukhada’ah, yakni cara (tujuan) atau trik yang halus dan samar yang dilakukan seseorang untuk meraih tujuannya, tidak akan disadari kecuali dengan kecerdasan dan kejeniusan. (Lihat I’lamul Muwaqqi’in)

Bentuk Hilah yang Haram
Ibnul Qayim rahimahullahu menjelaskan: “Macam yang kedua adalah (hilah) yang dilakukan untuk meninggalkan (tidak mengamalkan) kewajiban, menghalalkan yang haram, membalikkan yang terzalimi menjadi seorang yang zalim, seorang yang zalim menjadi pihak terzalimi, kebenaran menjadi kebatilan, yang batil menjadi kebenaran. Macam hilah yang kedua ini telah disepakati salafus shalih sebagai perbuatan yang tercela.” (Ighatsatul Lahafan, hal. 339)

Dalil-dalil tentang haramnya Hilah
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu telah menyebutkan beberapa dalil dan sisi yang menunjukkan haramnya hilah. Di antaranya:
1. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ ءَامَنَّا بِاللهِ وَبِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِينَ
Di antara manusia ada yang mengatakan: “Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian”, padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. (Al-Baqarah:
2. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
إِنَّا بَلَوْنَاهُمْ كَمَا بَلَوْنَا أَصْحَابَ الْجَنَّةِ إِذْ أَقْسَمُوا لَيَصْرِمُنَّهَا مُصْبِحِينَ. وَلَا يَسْتَثْنُونَ. فَطَافَ عَلَيْهَا طَائِفٌ مِنْ رَبِّكَ وَهُمْ نَائِمُونَ. فَأَصْبَحَتْ كَالصَّرِيمِ. فَتَنَادَوْا مُصْبِحِينَ. أَنِ اغْدُوا عَلَى حَرْثِكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَارِمِينَ. فَانْطَلَقُوا وَهُمْ يَتَخَافَتُونَ. أَنْ لَا يَدْخُلَنَّهَا الْيَوْمَ عَلَيْكُمْ مِسْكِينٌ. وَغَدَوْا عَلَى حَرْدٍ قَادِرِينَ. فَلَمَّا رَأَوْهَا قَالُوا إِنَّا لَضَالُّونَ. بَلْ نَحْنُ مَحْرُومُونَ
Sesungguhnya Kami telah mencobai mereka (musyrikin Makkah) sebagaimana Kami telah mencobai pemilik-pemilik kebun, ketika mereka bersumpah bahwa mereka sungguh-sungguh akan memetik (hasil)nya di pagi hari. Dan mereka tidak menyisihkan (hak fakir miskin). Lalu kebun itu diliputi malapetaka (yang datang) dari Rabbmu ketika mereka sedang tidur. Maka jadilah kebun itu hitam seperti malam yang gelap gulita. Lalu mereka panggil-memanggil di pagi hari. “Pergilah di waktu pagi (ini) ke kebunmu jika kamu hendak memetik buahnya.” Maka pergilah mereka saling berbisik-bisik. “Pada hari ini janganlah ada seorang miskin pun masuk ke dalam kebunmu.” Dan berangkatlah mereka di pagi hari dengan niat menghalangi (orang-orang miskin) padahal mereka mampu (menolongnya). Tatkala mereka melihat kebun itu, mereka berkata: “Sesungguhnya kita benar-benar orang-orang yang sesat (jalan). Bahkan kita dihalangi (dari memperoleh hasilnya).” (Al-Qalam: 17-27)
Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala menghukum orang-orang yang melakukan hilah dalam rangka menggugurkan hak orang miskin.
3. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan tentang orang Yahudi yang melanggar larangan berburu (mengambil ikan) di hari Sabtu. Mereka diubah oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadi kera, karena melakukan hilah untuk menghalalkan apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala haramkan yakni berburu (mengambil ikan) di hari Sabtu. Maka mereka (melakukan hilah) meletakkan jaring di hari Jum’at. Bila ada yang terjerat jaringnya mereka ambil di hari Ahad. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَاسْأَلْهُمْ عَنِ الْقَرْيَةِ الَّتِي كَانَتْ حَاضِرَةَ الْبَحْرِ إِذْ يَعْدُونَ فِي السَّبْتِ إِذْ تَأْتِيهِمْ حِيتَانُهُمْ يَوْمَ سَبْتِهِمْ شُرَّعًا وَيَوْمَ لَا يَسْبِتُونَ لَا تَأْتِيهِمْ كَذَلِكَ نَبْلُوهُمْ بِمَا كَانُوا يَفْسُقُونَ. وَإِذْ قَالَتْ أُمَّةٌ مِنْهُمْ لِمَ تَعِظُونَ قَوْمًا اللهُ مُهْلِكُهُمْ أَوْ مُعَذِّبُهُمْ عَذَابًا شَدِيدًا قَالُوا مَعْذِرَةً إِلَى رَبِّكُمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ. فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ أَنْجَيْنَا الَّذِينَ يَنْهَوْنَ عَنِ السُّوءِ وَأَخَذْنَا الَّذِينَ ظَلَمُوا بِعَذَابٍ بَئِيسٍ بِمَا كَانُوا يَفْسُقُونَ. فَلَمَّا عَتَوْا عَنْ مَا نُهُوا عَنْهُ قُلْنَا لَهُمْ كُونُوا قِرَدَةً خَاسِئِينَ. وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكَ لَيَبْعَثَنَّ عَلَيْهِمْ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ مَنْ يَسُومُهُمْ سُوءَ الْعَذَابِ إِنَّ رَبَّكَ لَسَرِيعُ الْعِقَابِ وَإِنَّهُ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ
Dan tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri yang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan air, dan di hari-hari yang bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami mencoba mereka disebabkan mereka berlaku fasik. Dan (ingatlah) ketika suatu umat di antara mereka berkata: “Mengapa kamu menasihati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazab mereka dengan azab yang amat keras?” Mereka menjawab: “Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Rabbmu, dan supaya mereka bertakwa.” Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik. Maka tatkala mereka bersikap sombong terhadap apa yang dilarang mereka mengerjakannya, Kami katakan kepadanya: “Jadilah kamu kera yang hina. Dan (ingatlah), ketika Rabbmu memberitahukan bahwa sesungguhnya Dia akan mengirim kepada mereka (orang-orang Yahudi) sampai hari kiamat orang-orang yang akan menimpakan kepada mereka azab yang seburuk-buruknya. Sesungguhnya Rabbmu amat cepat siksa-Nya, dan sesungguhnya Dia adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang. (Al-A’raf: 163-167)
4. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya…”
Ibnul Qayim rahimahullahu menyatakan: “Ini adalah dalil pokok untuk membatilkan hilah.”
5. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا … وَلَا يَحِلُّ لَهُ أَنْ يُفَارِقَ صَاحِبَهُ خَشْيَةَ أَنْ يَسْتَقِيلَهُ
“Penjual dan pembeli dalam masa khiyar selama belum berpisah… Tidak boleh salah satunya meninggalkan yang lain karena takut tidak jadinya akad.” (HR. Abu Dawud dan lainnya)
Ibnul Qayim rahimahullahu berkata: “Al-Imam Ahmad rahimahullahu berdalil dengan hadits ini dan berkata bahwa hadits ini menunjukkan batilnya hilah.”
6. Bab hilah yang diharamkan, yang asalnya adalah menamakan sesuatu tidak dengan nama aslinya, mengubah bentuk sesuatu dalam keadaan masih ada hakikatnya. Misalnya memberi nama-nama lain untuk riba, khamr. (Lihat Ighasatul Lahafan)

Hilah adalah perbuatan orang-orang Yahudi dan orang-orang kafir lainnya
Di antara hilah yang dilakukan Yahudi:
1. Dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَقَالَتْ طَائِفَةٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ ءَامِنُوا بِالَّذِي أُنْزِلَ عَلَى الَّذِينَ ءَامَنُوا وَجْهَ النَّهَارِ وَاكْفُرُوا ءَاخِرَهُ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Segolongan (lain) dari Ahli Kitab berkata (kepada sesamanya): “Perlihatkanlah (seolah-olah) kamu beriman kepada apa yang diturunkan kepada orang-orang beriman (sahabat-sahabat rasul) pada permulaan siang dan ingkarilah ia pada akhirnya, supaya mereka (orang-orang mukmin) kembali (kepada kekafiran).” (Ali ‘Imran: 72)
2. Kisah orang yang melanggar larangan hari Sabtu (telah kami sebutkan di pembahasan di atas).
3. Dalam hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
قَاتَلَ اللهُ الْيَهُودَ، إِنَّ اللهَ لَـمَّا حَرَّمَ شُحُومَهَا جَمَلُوهُ ثُمَّ بَاعُوهُ فَأَكَلُوا ثَمَنَهُ
“Allah memerangi Yahudi, sesungguhnya Allah telah mengharamkan atas mereka lemak bangkai, namun mereka cairkan lalu mereka jual dan mereka memakan hasil penjualannya.” (HR. Al-Bukhari no. 2236 dan Muslim no. 1581)

Hilah yang sering dilakukan di masa kini
Ketahuilah, banyak tersebar di masyarakat kita praktik hilah, baik dilakukan oleh satu lembaga, kelompok, atau individu tertentu. Melakukan tipu muslihat untuk menghalalkan yang haram yang tujuannya adalah mengeruk dunia semata. Di antara perkara tersebut adalah:
1. Nikah tahlil
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
لَعَنَ اللهُ الْـمُحَلِّلَ وَالْـمُحَلَّلَ لَهُ
“Allah melaknat muhallil dan muhallal lahu.”
Gambarannya, ada seseorang (yang diistilahkan muhallil lahu) mentalak istrinya dengan talak tiga dan ingin kembali ke mantan istrinya tersebut. Maka dia mencari seseorang (disebut muhallil) dan melakukan kesepakatan agar menikahi mantan istrinya untuk kemudian menceraikannya, dalam rangka memberikan jalan baginya untuk kembali menikahinya.
2. ‘Inah
Gambarannya, ada seseorang datang ke tempat orang yang melakukan praktik ribawi untuk meminjam uang. Rentenir ini berkata: “Begini saja, kamu ambil motorku ini dengan harga sepuluh juta, utang.” Kemudian dia berkata: “Sekarang aku beli motor tersebut dari kamu lima juta, kontan.” Sehingga dia mempunyai utang sepuluh juta, namun hanya mendapatkan uang tunai lima juta.
Keterangan: Ini adalah bentuk hilah dalam riba, yang hakikatnya sama dengan seseorang pinjam Rp 5.000.000,00 tapi harus membayar ganti Rp 10.000.000,00.
3. Judi dinamakan dengan sumbangan dana sosial berhadiah (SDSB, dahulu), dan sebagainya.
4. Khamr
Mereka menamai khamr dengan nama-nama lainnya.
5. Memberi nama lembaga-lembaga ribawi dengan label Islam.
6. Menamakan transaksi riba dengan jual beli atau mudharabah (kerjasama). Juga menamakan riba dengan bunga/jasa/diskonto/margin atau pendapatan bagi hasil.

Akibat dan balasan bagi orang yang berbuat Hilah
Ibnul Qayim rahimahullahu berkata:
“Barangsiapa mencermati syariat ini dan dikaruniai pemahaman, niscaya dia akan melihat bahwa syariat ini telah menggugurkan keinginan orang-orang yang hendak berbuat hilah dan membalas mereka dengan kebalikan apa yang mereka maukan, serta menutup segala pintu yang mereka buka untuk melakukan hilah.” (Ighatsatul Lahafan)
Di antaranya, Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak memberi bagian waris yang melakukan hilah dengan membunuh orang yang akan memberinya waris atau memberinya wasiat.

Penutup
Setelah kita tahu bahwa hilah adalah perbuatan Iblis, Yahudi, dan orang kafir lainnya, maka hendaknya kita semua tidak melakukan perbuatan tersebut. Ingatlah bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha melihat dan Maha Tahu apa yang kita lakukan. Ingatlah pula bahwa azab Allah Subhanahu wa Ta’ala sangatlah dahsyat. Janganlah karena ingin menuai keuntungan yang sedikit, namun menyebabkan terancam azab. Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi taufiq kepada kita untuk menjalankan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Walhamdulillah.

http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=862